Penjara Singkat Jaksa Pinangki Sang Koruptor Dapat Bebas Bersyarat Disebut Hilangkan Efek Jera

Penjara Singkat Pinangki dan Koruptor Dapat Bebas Bersyarat Disebut Hilangkan Efek Jera

Terpidana penerima suap dari buron kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra sekaligus mantan Jaksa, Pinangki Sirna Malasari menjalani masa tahanan yang cukup singkat.

Pengadilan tingkat pertama mulanya menjatuhkan pidana 10 tahun penjara. Tetapi, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memangkas hukumannya menjadi 4 tahun.

Pinangki kemudian dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tangerang pada Agustus 2021.

Namun, hanya sekitar setahun berselang, Pinangki mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kemarin, Selasa (6/9/2022).

Dengan demikian, Pinangki hanya menjalani masa tahanan sekitar 2 tahun karena ia ditahan sejak Agustus 2020 oleh Kejaksaan Agung.

Pinangki kemudian menghirup bebas bersama 22 narapidana korupsi lainnya yang dinyatakan bebas bersyarat pada hari yang sama.

Menanggapi hal ini, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.

“Kenapa? Karena seorang terpidana korupsi cukup sebentar saja menjalani pidana kemudian sudah dapat pembebasan bersyarat,” kata Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/9/2022).

Zaenur mengatakan, fenomena pemberian pengurangan masa hukuman dan pemberian pembebasan bersyarat membuat penegakan hukum terhadap pelaku korupsi tidak menimbulkan efek jera.

Di sisi lain, menurut Zaenur, penindakan terhadap kasus korupsi yang berorientasi penjeraan ekonomi atau upaya pemiskinan koruptor tidak berjalan.

Sebab, hingga saat ini, Undang-Undang terkait perampasan aset hasil kejahatan belum disahkan.

“Tidak adanya disinsentif secara ekonomi yang keras itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi daripada risikonya,” ujar Zaenur.

Menurut Zaenur, persoalan ini berawal saat Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang membatasi hak narapidana korupsi pada 2021.

Pada peraturan tersebut, narapidana korupsi baru bisa mendapatkan remisi jika menjadi justice collaborator, membantu membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Selain itu, membayar lunas denda dan uang pengganti.

Dengan dibatalkannya PP 99 Tahun 2012, maka semua terpidana korupsi berhak mendapatkan remisi.

“Remisinya juga sangat banyak ya, sehingga sebentar saja menjalani pidana seorang terpidana korupsi itu sudah bisa mendapatkan PB dan menghirup udara bebas,” tutur Zaenur mengkritik.

..

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama