RANGKAIAN INDAH UNTAIAN KATA ULAMA UMAROH
“Para ulama dalam kitab-kitabnya bukan hanya menuliskan ilmunya tapi juga menuangkan hatinya.” Kalimat menarik itu diunggah Ust Budi Ashari dalam akun media sosialnya beberapa waktu lalu.
Saya sangat terkesan dengan unggahan itu. Menulis bukan sekadar menderetkan kata, data, dan angka. Namun membagikan makna dari setiap untaian kata yang ditulisnya.
Banyak yang bertanya, bagaimana cara menulis yang menarik? Mereka tak paham, sebelum sampai menulis, ada tahapan feeding informasi yang harus dilalui.
Feeding informasi salah satunya didapat melalui membaca lalu mendiskusikanny
Nielsen Consumer dan Media View (CMV) pada kuartal II 2016 melakukan survei di 11 kota di Indonesia terkait minat baca gen z. Respondennya sekitar 17 ribu remaja berusia 10-17 tahun.
Hasilnya, minat baca gen z tidak lebih dari 11%. Tertinggi yang diminati mereka adalah aktivitas olahraga dan menonton televisi.
Millward Brown mengatakan ternyata gen z lebih menyukai konten dalam bentuk visual dibandingkan tulisan.
Konten visual lebih mudah diterima oleh gen z karena mereka tak perlu fokus pada satu aktivitas. Gen z yang cenderung multitasking dapat melakukan aktivitas lain ketika mereka membaca konten visual.
Dengan kecenderungan seperti itu, tak heran kalau media sosial Instagram membatasi penulisan caption hanya sampai 2.200 karakter. Karena ya memang hanya sebatas itu kemampuan membaca mayoritas penggunanya.
Bandingkan dengan ulama terdahulu, seperti Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi atau yang lebih dikenal Ibn Jauzi, yang membaca 20.000 jilid kitab sebagai referensi untuk bisa menuliskan 2.000 jilid kitabnya.
Semisal 1 jilid kitab terdiri dari 300 lembar, maka ia telah membaca sekitar 6 juta lembar untuk menuliskan 600 ribu lembar karya. Imam Adz Dzahabi sampai mengatakan, tidak ada yang semisal Ibn Jauzi dalam berkarya.
Keistiqamahan para ulama ini juga tak diragukan. Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari penulis kitab “Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an” mendisplinkan diri setiap hari menulis 40 lembar. Sehingga sampai akhir hayatnya ia telah menulis tak kurang dari 584.000 lembar.
Bila karya-karya para ulama, seperti Imam Al Ghazali “abadi” sampai hari ini, tak lain karena mereka menjaga kesucian hati saat menuliskan karyanya.
Imam Al Ghazali selalu menjaga wudhu ketika menulis dan mengiringinya dengan sedekah. Imam Bukhari selalu mandi dan shalat sunah dua rekaat sebelum menuliskan hadist.
Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitabnya yang berjudul “Al Muhalla bi al-Âtsâr”.
Para ulama meyakini, kata-kata yang ditulis dari hati, pasti akan sampai ke hati yang membacanya.