MERINDU LANGIT SENJA

MERINDU LANGIT SENJA


Memandang senja selalu memesona,
Tak ada senja yang lebih indah dari langit Makkah yang merekah berwarna merah.

Semburat jingga di langit Baitul Maqdis yang serupa Magis.
Pun doa-doa yang disorongkan ke atas langit di atas Masjid Al Azhar yang membuat berdebar.

Tahukah engkau bagaimana pilunya memandang senja di atas langit Cordoba? Ada perih dan luka yang masih menganga.

Semoga catatan takdir yang ditulis di atas langit mengizinkan kita untuk bersama-sama menikmatinya.
Menatap senja sembari mendaraskan doa.

Mau temani?
Saya terpekur menatap menara tua itu. Senja telah lindap. Suasana remang, menyisakan perasaan syahdu.
Teringat empat tahun lalu saat melakukan perjalanan ke Masjid al-Aqsha, Palestina. Di gerbang besi menuju masjid, suasananya mirip seperti ini. Dalam keremangan senja saya menjejakkan kaki di tempat yang telah lama dirindukan.

Sore itu saya berada di Masjid Al Azhar, Kairo. Di selasar masjid terlihat deretan bangku-bangku panjang yang digunakan untuk duduk-duduk. Para mahasiswa menekuri buku yang dibawa.

Tidak ada yang bergerombol atau bercanda, kalaupun ada yang sedang bercakap, terlihat seperti sedang berdiskusi.

Orang-orang yang berlalu-lalang pun terlihat “setipe”. Yang laki-laki kalau tidak mengenakan gamis dan jaket, mereka mengenakan jas dan kopiah.

 Yang perempuan mengenakan busana muslim santun dengan kerudung sederhana. Semua terlihat seperti sekumpulan orang-orang pintar yang tawadhu.
Mihrab tempat imam memimpin shalat terlihat sangat fungsional, tanpa hiasan yang mencuri perhatian.
Namun, hati saya tetap bergetar. Barangkali di tempat itu dulu Sang Pahlawan Shalahuddin al-Ayyubi pernah membenamkan rukuk dan sujud panjangnya sebelum memimpin pasukan membebaskan Baitul Maqdis.
Tak jauh dari tempat saya duduk terlihat sebuah halaqah kecil, empat orang perempuan dan seorang guru yang sedang menjelaskan sesuatu.

Saya lemparkan seulas senyum saat tak sengaja pandangan saya beradu dengan Sang Guru. Saya anggukkan kepala tanda hormat, yang dijawabnya dengan anggukan serupa.

Seperti inikah dulu halaqah Imam Suyuthi? Ahli hadist yang mendedikasikan hidupnya untuk belajar dan mengajar di institusi pendidikan yang terhormat ini.

Di sinikah Ibn Athailah menuliskan bait-bait hikmah yang membuat saya masih bergetar tiap kali membacanya?
Mungkinkah Imam Ibnu Khaldun pernah duduk di tempat saya duduk, saat memimpin majelisnya yang selalu dipenuhi murid-muridnya?
Pastilah tempat ini sangat istimewa hingga dipilihnya setelah meninggalkan Andalusia. Di tempat ini pula, ia menyelesaikan kitab masyhurnya “Muqaddimah”.

Berulang saya menuliskan betapa saya sangat menyukai suasana senja. Menatap semburat jingga yang seakan membawa kita melayang ke angkasa.
Sore ini, di antara suara sirine ambulans yang meraung tiada henti sejak pagi, saya menatap langit senja di Jakarta. Apakah engkau juga melakukan hal yang sama di sana?
🌼🌼🌼
.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama