CINTA AYAH TAK BERTEPI SAMPAI UBUN UBUN
Kemarin seorang politikus nyinyir mengomentari akad nikah putri Gubernur yang ijab-qobulnya dilafalkan menggunakan bahasa Arab.
"Baru aku tahu yang suka ngaku-ngaku asli Yogya itu, bahasanya bahasa Arab ha ha ha. Oh ho kau ketahuan. Sip deh maturnuwun sukron nie ye. Merdeka," tulisnya di akun Twitter [1/8].
Postingan itu memang tak perlu dikomentari. Meskipun saya sangat heran membacanya. Karena bagi orang Islam, melafalkan ijab qobul dalam bahasa Arab adalah sebuah kelaziman, apapun suku bangsanya.
Keluarga besar saya orang Solo, semua pernikahan kami ijab qobulnya dilafalkan dalam bahasa Arab dan tidak ada yang nyinyir.
Bagi ayah, menikahkan anak perempuannya adalah sebuah momen sakral yang sangat istimewa. Doa-doa terbaik dideraskan saat menikahkannya. Setiap ayah menginginkan kebahagiaan putrinya, jauh melebihi kebahagiannya.
Seperti yang dicontohkan sahabat mulia Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau yang lebih dikenal dengan Abu Darda.
Suatu hari ia kedatangan utusan Muawiyah bin Abi Sufyan yang ingin meminang putrinya untuk dinikahkan dengan putranya Yazid bin Mu’awiyah.
Muawiyah adalah sahabat mulia yang ikut berjihad di banyak medan jihad, hingga akhirnya diamanahi menjadi Gubernur Syam. Ia adalah saudara tiri Ummu Habibah yang merupakan istri Rasulullah SAW.
Sebagaimana klan Bani Umayyah, ia juga saudagar kaya raya yang berlimpah harta. Sehingga secara nasab maupun kemampuan ekonomi tak ada yang perlu diragukan.
Alih-alih menerimanya, Abu Darda yang dikenal sangat zuhud dalam kehidupannya, menolak pinangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Uyun al-Hikayat”.
Ia memilih menikahkan putri yang sangat dicintainya dengan laki-laki sederhana dari kalangan rakyat biasa, namun terjaga agamanya.
Orang-orang pun heran dan bertanya, yang dijawabnya, “Aku hanya memilih yang terbaik untuk putriku.” Lanjutnya, “Apa yang kau bayangkan seandainya putriku tinggal di istana dan bergelimang harta, bagaimana dengan agamanya?”
Keputusan serupa juga pernah diambil Sa’id bin Musayyab yang menolak pinangan Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan untuk menikahkan putrinya dengan putranya Al Walid bin Abdul Malik.
Sa’id bin Musayyab lebih memilih menikahkan putrinya, wanita yang paling cantik di Madinah kala itu, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah SAW dengan Abu Wada’ah yang maharnya uang dua dirham saja.
Abu Wada’ah adalah seorang duda sederhana yang tekun hadir di Masjid Nawabi untuk menuntut ilmu dan tak pernah absen dari halaqah Sa’id bin Musayyab.
Ketika orang-orang bertanya, “Mengapakah engkau menolak pinangan Amirul Mukminin dan memilih nikahkan putrimu dengan orang awam?”
Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”
MasyaAllah. Cinta ayah dan anak perempuannya adalah cinta tak bertepi..
Kemarin seorang politikus nyinyir mengomentari akad nikah putri Gubernur yang ijab-qobulnya dilafalkan menggunakan bahasa Arab.
"Baru aku tahu yang suka ngaku-ngaku asli Yogya itu, bahasanya bahasa Arab ha ha ha. Oh ho kau ketahuan. Sip deh maturnuwun sukron nie ye. Merdeka," tulisnya di akun Twitter [1/8].
Postingan itu memang tak perlu dikomentari. Meskipun saya sangat heran membacanya. Karena bagi orang Islam, melafalkan ijab qobul dalam bahasa Arab adalah sebuah kelaziman, apapun suku bangsanya.
Keluarga besar saya orang Solo, semua pernikahan kami ijab qobulnya dilafalkan dalam bahasa Arab dan tidak ada yang nyinyir.
Bagi ayah, menikahkan anak perempuannya adalah sebuah momen sakral yang sangat istimewa. Doa-doa terbaik dideraskan saat menikahkannya. Setiap ayah menginginkan kebahagiaan putrinya, jauh melebihi kebahagiannya.
Seperti yang dicontohkan sahabat mulia Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau yang lebih dikenal dengan Abu Darda.
Suatu hari ia kedatangan utusan Muawiyah bin Abi Sufyan yang ingin meminang putrinya untuk dinikahkan dengan putranya Yazid bin Mu’awiyah.
Muawiyah adalah sahabat mulia yang ikut berjihad di banyak medan jihad, hingga akhirnya diamanahi menjadi Gubernur Syam. Ia adalah saudara tiri Ummu Habibah yang merupakan istri Rasulullah SAW.
Sebagaimana klan Bani Umayyah, ia juga saudagar kaya raya yang berlimpah harta. Sehingga secara nasab maupun kemampuan ekonomi tak ada yang perlu diragukan.
Alih-alih menerimanya, Abu Darda yang dikenal sangat zuhud dalam kehidupannya, menolak pinangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Uyun al-Hikayat”.
Ia memilih menikahkan putri yang sangat dicintainya dengan laki-laki sederhana dari kalangan rakyat biasa, namun terjaga agamanya.
Orang-orang pun heran dan bertanya, yang dijawabnya, “Aku hanya memilih yang terbaik untuk putriku.” Lanjutnya, “Apa yang kau bayangkan seandainya putriku tinggal di istana dan bergelimang harta, bagaimana dengan agamanya?”
Keputusan serupa juga pernah diambil Sa’id bin Musayyab yang menolak pinangan Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan untuk menikahkan putrinya dengan putranya Al Walid bin Abdul Malik.
Sa’id bin Musayyab lebih memilih menikahkan putrinya, wanita yang paling cantik di Madinah kala itu, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah SAW dengan Abu Wada’ah yang maharnya uang dua dirham saja.
Abu Wada’ah adalah seorang duda sederhana yang tekun hadir di Masjid Nawabi untuk menuntut ilmu dan tak pernah absen dari halaqah Sa’id bin Musayyab.
Ketika orang-orang bertanya, “Mengapakah engkau menolak pinangan Amirul Mukminin dan memilih nikahkan putrimu dengan orang awam?”
Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”
MasyaAllah. Cinta ayah dan anak perempuannya adalah cinta tak bertepi..