BAITUL MAQDIS BERSALJU, BAITUL MAQDIS SUNGGUH AKU RINDU
Jantung saya berdebar keras. Sudut mata menghangat. Terlihat punggung pria berbaju hitam dan payung yang dibawanya bertabur butiran putih serupa kapas.
Di tengah guyuran salju, ia melangkah seorang diri menuju bangunan suci. Kubah berwarna emas yang berkilau menyiratkan keagungannya.
Kehormatan tempat itu dijaga dengan tumpahnya darah jutaan syuhada.
Tangis saya tercekat. Saya merasakan kerinduan sangat. Seperti anak kecil yang ingin berlari begitu melihat ibunya yang telah meninggalkan sekian lama.
Baitul Maqdis…
Saya masih mengingat dengan jelas saat melewati gerbang hijau itu. Dalam keremangan senja, untuk pertama kalinya saya mendengar kumandang adzan dari tempat mulia.
Saya tak sanggup melanjutkan langkah. Kaki terasa berat. Kerinduan itu membuncah. Impian yang terajut sejak balita, kini nyata di depan mata.
Sekali lagi saya pandangi gambar itu, lalu penjamkan mata. Nyaring suara adzan Maghrib seakan kembali bergema.
Saya geser gambar yang diunggah sebuah akun perjuangan Palestine di sosial media itu. Gambar-gambar berikutnya terlihat Baitul Maqdis berselimut salju.
Sudah pernah saya tuliskan bagaimana rasanya shalat di bawah guyuran salju. Saat air wudhu menyentuh kulit, terasa seperti jutaan semut menempel di wajah. Satu dua mulai menggigit dan menimbulkan rasa pedih.
Setelah itu rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Gigi mulai bergemeluk. Tangan dan kaki terasa beku. Waktu seakan berhenti. Perlahan dingin itu berubah menjadi hangat di hati.
Kalau sekadar wudhu di bawah guyuran salju terasa sangat “menyiksa”, bagaimana dengan perjuangan para syuhada?
Tercatat beberapa perjalanan jihad dan peperangan dilakukan di tengah musim dingin yang berat. Di antaranya adalah pengiriman pasukan Amir Temur menuju wilayah Cina.
Pasukan itu tak pernah sampai Cina, karena di kota Otrat, Syr-Darya, yang kini bernama Shymkent-Kazahstan, mereka harus berjibaku dengan badai salju dan menyebabkan mangkatnya Sang Amir karena demam berkepanjangan.
Bahkan saat jenazah Amir Temur akan dibawa ke Shahrisabz, kota kelahirannya, untuk dimakamkan, lagi-lagi pasukan itu terjebak badai salju.
Hingga akhirnya diputuskan jenazah Amir Temur dimakamkan di Samarkand, kota yang dicintai dan dibangunnya dengan sepenuh hati.
Musim dingin yang berat juga mengiringi jatuhnya kota Granada di Andalusia. Benteng kota telah terkepung pasukan Ferdinand dan Isabel, sehingga pasukan Muslimin tidak bisa mendapat suplai makanan dan logistik.
Disebutkan, untuk menghalau dinginnya musim dingin, perabot-perabot kayu indah yang berada di dalam istana Alhambra sampai dikorbankan untuk menghangatkan badan. Meja, kursi, lemari, dan hiasan berukir lainnya dijadikan bahan bakar perapian.
Kita yang tinggal di negara tropis mungkin tidak terbayangkan, saat salju turun dengan lebatnya, tanpa penghangat dan logistik yang memadai, taruhannya adalah nyawa.
Namun demikian, pasukan Muslimin juga mencatatkan kemenangan di tengah peperangan yang berlangsung di awal musim dingin.
Peperangan itu dikenal sebagai Perang Varna, antara Sultan Murad II dari Daulah Utsmani dengan gabungan pasukan Eropa Timur yang dikomandoi Raja Ladislas dari Hongaria atas bujukan Paus Eugene IV.
Perjanjian damai itu dikhianati. Sultan Murad II berjihad dengan meletakkan kertas perjanjian yang dilanggar di ujung tombaknya sehingga pasukan musuh bisa melihat pengkhianatan yang dilakukan rajanya dengan disaksikan langit dan bumi.
Pasukan Muslimin yang berjumlah 40 ribu dengan izin Allah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Eropa Timur yang jumlahnya tak kurang dari 60 ribu.
Kalau dulu para Mujahid berjihad dengan pedangnya di tengah derasnya guyuran salju, kini pria berbaju hitam yang nampak dalam gambar itu menggunakan payungnya untuk menjawab panggilan adzan, sekaligus membuktikan pada dunia kalau Masjid Al Aqsa ada yang menjaga.
Hangatnya cahaya Hidayah akan menghangatkan langkah kakinya. Baitul Maqdis yang berselimut salju, sungguh aku rindu!