AMANAH ILMIAH

AMANAH ILMIAH 

Tak sengaja ada sebuah postingan yang lewat di beranda saya. Mungkin yang lain juga pernah melihat postingan serupa.

Postingan itu mencapture sebuah tulisan yang sama persis, namun diunggah oleh banyak akun yang berbeda-beda dan diklaim sebagai tulisannya, tanpa menyebutkan sumber pertama tulisan itu.

Sungguh menyedihkan! 

Karena perbuatan itu menunjukkan kualitas kejujuran bangsa ini. Kita berteriak-teriak tentang pemimpin yang suka berbohong, namun tidak melihat dalam keseharian betapa banyak yang juga melakukan tanpa menyadari kesalahannya.

Bahkan hal itu sudah dianggap biasa: mencopy-paste buah pikir atau karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya.

Saya lalu teringat banyaknya tulisan saya yang dicopy paste tanpa menuliskan sumbernya. Tak hanya di sosial media, karena saya selalu menyelipkan kata/kalimat spesifik yang dengan mudah bisa dilacak di mesin pencari Google.

Yang lebih menyedihkan, ada tulisan yang dipotong-potong, diambil bagian tertentu saja, lalu diganti judul dan foto, dan ditujukan untuk kepentingan/motif tertentu. 

Tulisan itu menjadi misleading. Tidak sesuai dengan tujuan awal penulisannya, karena diambil bagian tertentu saja sesuai dengan opini yang ingin dibentuk. Semoga Allah mengampuni mereka yang melakukannya.

Betul, bahwa tujuan tulisan itu untuk disebarluaskan sebanyak-banyaknya. Karena itu bisa menjadi jalan kebaikan bagi banyak orang. 

Seperti yang disampaikan Imam Syafi’i, “Ilmu bukan seberapa banyak yang engkau miliki, namun seberapa banyak engkau bagikan.”

Sosial media telah dilengkapi dengan fitur share atau repost untuk memudahkan. Lebih bijak bila ingin membagikannya dengan menggunakan fitur itu. Atau kalau ingin membagikannya di platform yang berbeda, penyantuman narasumber adalah hal wajib sebagai bentuk amanah ilmiah seorang Muslim.

Amanah ilmiah adalah komitmen yang harus dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab kelak. Konsep ini tak dikenal para ilmuwan Barat, sehingga mereka membuat aturan yang disebut hak cipta. Sesiapa yang melanggar akan dikenakan denda. 

Islam tidak demikian. Para alim terdahulu menuliskan ilmu untuk mendapat ridha Allah. Niat itu berulang ditanyakan dalam diri. Sekiranya ada kekhawatiran terselip maksud lain, tak ragu mereka memusnahkan karya itu.

Kalau lurusnya niat berulang dipastikan, apalagi cara yang digunakan. Plagiarisme atau mengambil buah pikir orang lain lalu mengakui sebagai karyanya, pastilah tak pernah terbersit sedikitpun.

Dalam kitab “Azhar ar-Riyadh fi Akhbar al-Qadhi Iyadh”, Ahmad bin al-Muqirri menyebutkan, semangat tulisan yang diangkat para cendekiawan Muslim terdahulu adalah menuliskan temuan baru. Sesuatu yang sama sekali belum pernah dituliskan oleh orang lain. 

Berikutnya, menuliskan sesuatu untuk menyambung atau menyempurnakan kitab yang telah ada sebelumnya dengan menyebutkan kitab apa yang diteruskan penulisannya itu.

Ada juga yang buah pikir berupa koreksi atau klarifikasi atas sebuah karya yang terlalu “diawang-awang”. Cendekiawan ini berusaha untuk membumikannya sehingga mudah dipahami khalayak.

Semangat yang lain, menulis ringkasan atas sebuah karya yang sangat panjang atau dirasa bertele-tele. Bisa juga mengkodifikasi atau mengumpulkan karya ulama yang berserak di banyak kitab sesuai tema tertentu. 

Namun, ada satu benang merah yang tegas terjaga. Penulis yang datang belakangan, bagaimanapun, tetap mencantumkan nama penulis asli. Tanpa sedikitpun mengklaim karya tersebut sebagai gagasannya.

Penulisan narasumber secara spesifik telah dicontohkan melalui metodologi penulisan hadist, dengan menyantumkan setiap nama perawinya. Hingga kitab hadist diakui dunia sebagai kitab yang paling menjunjung amanah ilmiah. 

Mari kita bagikan tulisan-tulisan bermanfaat sebagai jalan untuk menebar kebaikan. Sekaligus, kita tunjukkan bahwa kita adalah Muslim. Orang-orang yang menghormati dan dihormati karena amanah ilmiahnya.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama