MENANTI KUMANDANG ADZAN MEZQUITA

MENANTI KUMANDANG ADZAN MEZQUITA

“Mb, apakah ada Muslim yang selamat saat peristiwa inkuisisi terjadi?”

Saya tercenung sejenak mendengar pertanyaan yang disampaikan salah satu peserta webinar “Andalusia, Kemarin, Kini dan Nanti”.

Tiba-tiba berkelebat bayangan kengerian saat peristiwa itu terjadi. Muslimin dikejar-kejar di Tanah Airnya sendiri, yang sangat dicintainya.

Hanya ada tiga pilihan yang diberikan: Dimurtadkan. Setahun setelah jatuhnya Granada pada 2 Januari 1492 dilakukan pembabtisan masal. Orang-orang yang lemah iman dan para oputunis memilih opsi ini.

Para Mujahid yang bertahan memilih syahid demi mempertahankan kalimat Allah. Dan sebagian besar terusir dari negerinya menuju Afrika Utara.

Apakah ada yang selamat? Mungkin saja. Orang-orang tua yang sudah “kenyang” disiksa oleh Dewan Inkuisisi dibiarkan hidup, namun mereka dipaksa melihat anak cucunya dimurtadkan, makan babi dan minum khamr hingga mereka meninggal dalam nestapa yang berkepanjangan.

Untuk memastikan tak ada Muslimin yang tersisa, diberlakukan banyak kebijakan tak masuk akal. Di antaranya setiap rumah harus menggantung paha babi yang disebut jamon. 

Tradisi menggantung paha babi ini bahkan masih lestari hingga kini. Meski mereka sudah tidak menggantungnya di depan rumah lagi, namun salah satu signature dish yang sangat terkenal di Spanyol adalah jamon alias paha babi.

Bukan hanya paha babi sungguhan, tapi juga dijual dalam bentuk aneka souvenir, seperti gantungan kunci dan tempelan kulkas. Bentuk souvenir jamon ini menurut saya sekilas seperti bet pingpong. Dari toko souvenir terkemuka, hingga kedai kecil di rest area, mereka menjualnya.

Begitu mengerikannya peristiwa inkuisisi itu, hingga seorang Mufti dari kota Wahrani (Oran), Maroko, bernama Syekh Ahmad bin Abi Jum'ah al-Maghrawi al-Wahrani mengeluarkan fatwa pada tahun 1504.

Isinya antara lain bentuk dukungan pada kaum Morisco (sebutan Muslim Andalusia yang dipaksa pindah agama) untuk mempertahankan akidahnya sekalipun dengan cara sembunyi-sembunyi dan di dalam hati untuk menghindari penyiksaan yang sangat kejam.

Fatwa ini berlaku sangat terbatas, di daerah yang benar-benar berat penyiksaannya. Mereka diperbolehkan pura-pura pindah agama dan melaksanakan syariat seperti shalat hanya dengan isyarat, wudhu dengan cara menceburkan diri ke sungai atau laut, membayar zakat seakan seperti berderma biasa pada orang miskin dan seterusnya.

Tidak semua ulama bersepakat dengan fatwa ini. Banyak yang menyarankan untuk berhijrah meninggalkan Andalusia sekiranya kekejaman penguasa sudah tak tertahankan lagi. Sebagian lagi menyarankan tetap berjuang hingga syahid.

Mungkin agak sulit membayangkan fatwa seperti itu di Indonesia. Namun, setelah saya melakukan perjalanan ke Uighur dan mengalami sendiri seperti apa sulitnya melakukan ibadah di sana, fatwa ini menjadi sangat bisa dipahami.

Dokumentasi adanya fatwa ini masih tersimpan di Perpustakaan Vatikan bagian koleksi Borgiano hingga hari ini. 

🌼🌼🌼

Sahabat, terima kasih atas kehadirannya dalam webinar “Andalusia, Kemarin, Kini dan Nanti”, Sabtu (9/1), atas kesediannya bertahan sampai acara selesai sekalipun sudah larut untuk waktu Indonesia.

Bagi yang belum sempat hadir, recording bisa dilihat di channel 

Tetiba saya teringat tulisan saya MENANTI KUMANDANG ADZAN AYA SHOFIA KEMBALI
 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213372410065177&id=1846725509 yang saya posting 29 Mei 2020, dua bulan sebelum adzan benar-benar berkumandang menandai shalat Jumat pertama di Masjid Aya Shofia, Istanbul, pada 24 Juli 2020.

Doa yang sama saya selipkan saat menuliskan ini. Allah izinkan kita menjadi generasi yang menyaksikan Aya Shofia kembali menjadi masjid. Semoga Allah juga izinkan kumandang adzan kembali terdengar dari Masjid Agung Cordoba yang kini menjadi Kathedral Mezquita. Dan kita masih diizinkan menyaksikannya. Biidznillah.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama