MINTALAH MAHAR SYAHADAT AGAR SELAMAT DUNIA AKHERAT

MINTALAH MAHAR SYAHADAT AGAR SELAMAT DUNIA AKHERAT


Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi memastikan pernikahan beda agama di Semarang yang viral di media sosial tak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

"Peristiwa yang diduga pernikahan beda agama dan viral di media sosial itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA," ujar Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta. [Republika, 9/3].

Ini bukan yang pertama. Di tahun 80-an, pernikahan beda agama seperti ini sudah menjadi perhatian Buya Hamka. Dalam berbagai kesempatan dan bukunya, secara tegas Buya melarang Muslim menikah dengan non-Muslim.

“Biarlah Muslim kawin dengan Muslimah, supaya dekat budaya dan nilai-nilainya, jangan sampai Muslim menikah dengan wanita non-Muslim, lalu dia terpengaruh (oleh) wanitanya,” tegasnya dalam Tafsir Al Azhar.

Pernikahan beda agama lebih berat lagi jika wanitanya Islam dan laki-lakinya non-Muslim, maka mutlak kesepakatan ulama (ijma') pernikahannya dianggap tidak sah dalam syariat.

Pernikahan yang tidak sah maka hukumnya dianggap sebagai zina, jika seorang wanita Muslimah dan laki-lakinya non-Muslim. Ini harga yang tidak boleh ditawar.

Banyak peristiwa yang tercatat dalam sejarah memotret kejadian semacam ini. Terutama pernikahan yang terjadi sebelum syariat Islam diturunkan. Pernikahan itu lalu berakhir dengan perpisahan setelah syariat ditegakkan.

Paling masyhur adalah pernikahan dua putri Rasulullah SAW dengan anak-anak Abu Lahab. Tercatat Ruqayyah binti Muhammad yang menikah dengan Utbah bin Abu Lahab dan Ummu Kultsum dinikahkan dengan Utaibah bin Abu Lahab.

Begitu syariat kenabian turun, murkalah keluarga Abu Lahab dan meminta anak-anaknya menceraikan kedua putri Rasulullah SAW.

Rupanya itu adalah jalan Allah untuk mempertemukan keduanya dalam pernikahan yang penuh keberkahan. Ruqayyah lalu dinikahkan dengan sahabat Utsman ibn Affan.

Pernikahan keduanya tak berlangsung lama, karena Ruqayyah sakit, lalu wafat bersamaan dengan perang Badar.

Setelah itu Utsman ibn Affan meminang Ummu Kultsum. Keduanya menikah pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun ke-3 Hijriyah. Qadarullah Ummu Kultsum juga tidak berumur panjang. Pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah, Ummu Kultsum wafat.

Dari pernikahannya dengan dua putri Rasulullah SAW itulah sahabat mulia Utsman ibn Affan digelari Dzun Nurain atau pemilik dua cahaya.

Kematian suami yang dinikahi di masa jahiliyah juga dialami Ummu Sulaim binti Malhan. Suaminya Malik Ibnu Nadhar adalah orang pertama yang menentang keimanannya.

Ia begitu murka mengetahui istrinya telah bersyahadat. "Apakah engkau telah musyrik?" Ummu Sulaim menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan, "Aku tidak musyrik tetapi aku telah beriman."

Tak lama setelah kejadian itu, dalam perjalanan dagang ke Syam Malik Ibnu Nadhar meninggal. Ummu Sulaim memilih membesarkan putranya, sahabat mulia Annas bin Malik, seorang diri.

Hingga datanglah pinangan dari Abu Thalhah yang pada waktu itu belum beriman. Ditolaknya pinangan itu sekalipun mahar yang diberikan sangat banyak.

"Tidak pantas orang yang sepertimu ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang Muslimah yang tidak pantas bagiku untuk menikah denganmu. Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak, akan tetapi yang aku inginkan darimu adalah Islam,” jawabnya tegas.

Pernikahan itu lalu tercatat dalam sejarah sebagai pernikahan dengan mahar syahadatnya Abu Thalhah.

Dari Anas RA, "Tidaklah aku mendengar ada seorang wanita yang lebih mulia maharnya dari pada Ummu Sulaim yang mana maharnya adalah Islam."

Ya Ukhti, tidak pantas bagimu menikah dengan orang yang belum beriman. Tidakkah engkau ingin menyontoh kemuliaan Ummu Sulaim? Mintalah mahar darinya“syahadat”, niscaya kalian akan selamat.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama