KINCIR ANGIN DAN MENANTI TULIP BERSEMI

KINCIR ANGIN DAN MENANTI TULIP BERSEMI

Masih di bulan Agustus, salah satu keyword yang paling banyak dicari adalah seputar Hari Kemerdekaan dan penjajahan Belanda.

Tidak sengaja saya menemukan fakta yang menggelitik. Coba Googling, apa julukan bagi negara Belanda?
Yang akan muncul adalah salah satu dari lima nama berikut: Negara Kincir Angin, Tanah Rendah, Negara Tulip, Negara Dam, dan Negara Keju.

Disebutkan banyak alasan mengapa julukan itu layak disematkan pada negara Belanda. Padahal dua dari julukan itu adalah warisan peradaban Islam. Bukan asli Belanda.

Yang pertama kincir angin. “Kincir angin warisan peradaban Islam?” Mungkin banyak yang bertanya. Jawabnya: betul.
Lima abad sebelum teknik memanfaatkan angin sebagai sumber energi ini tiba di Eropa, masyarakat Muslim telah memulainya. Tepatnya di tahun 640 pada masa Kekhalifahan Umar ibn Khattab.

Perluasan wilayah Islam sampai ke Persia menjadi salah satu pintu berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan oleh para sarjana Muslim.

Termasuk teknik sederhana semacam kincir angin dengan memanfaatkan angin kencang yang terus bertiup sepanjang tahun di gurun-gurun Persia.

Teknologi ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh para cendekiawan Muslim. Tujuannya untuk menggiling gandum, tebu, dan memompa air untuk irigasi pertanian.

Teknologi pertanian dan sistem pendukungnya memang sudah sangat maju pada periode Daulah Islam. Kemudian menyebar ke negeri-negeri Muslim.

Salah satu peninggalan kincir angin kuno yang ditandai dengan penggunaan sumbu vertical masih bisa disaksikan reruntuhannya di Afghanistan saat ini.

Pemanfaatan angin sebagai sumber energi ini merupakan salah satu ide brilian. Mengingat penyebaran Islam berawal dari negeri di gurun. Di mana pasokan angin sangat berlimpah sepanjang tahun.

Pada awalnya, layar kincir angin menggunakan anyaman daun kurma atau anyaman daun palem lainnya.
Teknologi kincir angin terus berkembang, hingga sampailah ke Andalusia. Pintu gerbang kemajuan peradaban yang diantarkan Islam untuk masyarakat Eropa.

Catat ya, kalau sekarang masyarakat Barat bisa menikmati manfaat dari teknologi ini (tercatat satu turbin kincir angin modern bisa memasok listrik untuk 600 rumah) itu adalah berkat kemajuan peradaban Islam.

Lalu yang kedua: bunga tulip. Negeri Belanda baru mengenal bunga tulip sekitar abad ke 16. Melalui seorang duta besar Kekaisaran Romawi yang bernama Ogier Ghiselin de Busbecq.
Ia terkesima dengan keindahan bunga tulip yang memenuhi seluruh taman dan istana-istana Sultan di Istanbul.

De Busbecq lalu mengirimkan bibit bunga tulip untuk dibudidayakan di Kebun Raya Leiden. Seorang ahli botani yang juga sahabatnya bernama Carolus Clusius berhasil melakukannya.

Dalam artikel yang berjudul "The Flowery Journey of Tulips From the Ottoman Empire to Europe" yang ditulis Ethem Bukey, disebutkan kalau bunga tulip mulai dibudidayakan oleh bangsa Turki Seljuk di awal abad ke 11.

Sultan Muhammad Al Fatih tercatat sebagai salah satu Sultan Utsmani yang mempunyai kesukaan berkebun. Ia perintahkan pasukannya untuk menanam bunga tulip di wilayah-wilayah yang baru dibebaskannya.

Puncaknya, pada masa Sultan Sulaiman al Qanuni. Ia menjadikan kegiatan penanaman dan penggunaan bunga tulip di Istanbul sebagai profesi tersendiri. Sejak saat itu, bunga tulip menjadi simbol nasional bangsa Turki.

Sayangnya, sewaktu saya melakukan perjalanan ke Istanbul dan beberapa kota lainnya di Turki tidak bertepatan dengan musim semi.

Sehingga tidak bisa menyaksikan keindahan mekarnya bunga yang banyak digunakan arsitek jenius Mimar Sinan dalam berbagai masterpiece-nya.

Ah, sepertinya memang harus melakukan perjalan ke Turki lagi saat bunga tulip bersemi. Ada yang mau temani saya?

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama