KITAB CINTA PARA ALIM ULAMA
“Andai aku harus menebusnya dengan anggota tubuhku, maka pasti akan kulakukan,” kalimat itu ditulis dalam Kitab “Thawqul Hamamah (Kalung Merpati)” karya Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm atau yang dikenal dengan Ibn Hazm (994-1064 M).
Apa pasal Sang Ulama dari Andalusia itu menuliskannya? Syahdan, dalam salah satu episode kehidupannya, ia harus kehilangan gadis yang dicintainya. Ada yang menyebutkan itu adalah istrinya yang bernama Nu’m, yang berparas jelita.
Begitu mendalam duka yang dirasakannya, hingga ia menuliskan kalimat di atas. “Ia lebih memilih menyanding debu liang lahat,” lanjutnya.
Saya sudah pernah menuliskan, kalau selama ini kita beranggapan para ulama hanya menulis kitab-kitab keilmuwan yang “berat”, itu tidak tepat. Kitab “Thawqul Hamamah” ini salah satunya. Kitab ini berisi kisah cinta yang dituliskan Sang Ulama.
Sepanjang hayatnya Ibn Hazm tak kurang menulis 400 jilid kitab yang terdiri dari 80.000 halaman. Kitabnya yang masyhur di antaranya “Al-Fashl fi Al-Milal wal Ahwa Wan-Nihal” yang membahas tentang teologi, “Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam” yang berisi ilmu fiqih, dan “Jamharat Ansab Al-Arab” yang membahas genealogi bangsa Arab.
Kitab “cinta” tak hanya ditulis Ibn Hazm, Tercatat Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Ta'i atau Ibnu Arabi (1165-1240 M) juga menulis Kitab “Tarjuman al-Asywaq (Tafsir Kerinduan)”.
Kitab ini berisi kumpulan puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para muridnya biasa menyenandungkannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda, seperti bahar Thawil, Kamil, Wafir dan lainnya.
“Jika ia bicara, semua yang ada jadi bisu. Ia adalah matahari di antara ulama. Taman indah di antara para pujangga. Wajahnya begitu jelita. Otaknya cemerlang. Tutur bahasanya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan.”
Bait-bait indah itu dituliskan Ibn Arabi untuk Sayyidah Nizam. Anak gadis Syeikh Abu Syuja’, salah satu gurunya yang mendapat gelar Syaikhah al Haramain atau guru besar untuk wilayah Makkah dan Madinah.
Kelak dikemudian hari, Kitab “Tarjuman al-Asywaq” yang ditulisnya ini ditandai sebagai salah satu kitab kumpulan puisi yang paling dikenal luas, sekaligus paling sulit diterjemahkan.
Ah, barangkali seperti itulah untaian kata orang yang sedang jatuh cinta. Sulit diterjemahkan!
Tak hanya bait-bait indah ungkapan cinta yang terdokumentasikan dalam kitab para ulama. Namun juga cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Tersebutlah nama Rabi’ah Adawiyah (717-801 M), seorang muslimah berilmu yang menjadi guru Malik bin Dinar, Raba al Rais, Sheikh al Balkhi, dan Hasan Basrah.
Sepanjang hidupnya, banyak ulama hingga penguasa yang meminangnya, seperti Gubernur Basrah, seorang sufi bernama Hasan al Basri, hingga Imam Sufyan Ats-Tsauri, namun semua ditolaknya.
Ia menolak pinangan itu karena khawatir tak bisa membagi hatinya untuk suami dan anak-anaknya kelak.
Ia telah memberikan seluruh jiwa dan pikirannya untuk Allah semata. Meski demikian, ia paham sepenuhnya bahwa menikah sejatinya adalah perintah agama.
Penggalan bait puisinya yang abadi hingga kini, masih sering dibacakan dan dituliskan.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu Yang abadi padaku
“Andai aku harus menebusnya dengan anggota tubuhku, maka pasti akan kulakukan,” kalimat itu ditulis dalam Kitab “Thawqul Hamamah (Kalung Merpati)” karya Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm atau yang dikenal dengan Ibn Hazm (994-1064 M).
Apa pasal Sang Ulama dari Andalusia itu menuliskannya? Syahdan, dalam salah satu episode kehidupannya, ia harus kehilangan gadis yang dicintainya. Ada yang menyebutkan itu adalah istrinya yang bernama Nu’m, yang berparas jelita.
Begitu mendalam duka yang dirasakannya, hingga ia menuliskan kalimat di atas. “Ia lebih memilih menyanding debu liang lahat,” lanjutnya.
Saya sudah pernah menuliskan, kalau selama ini kita beranggapan para ulama hanya menulis kitab-kitab keilmuwan yang “berat”, itu tidak tepat. Kitab “Thawqul Hamamah” ini salah satunya. Kitab ini berisi kisah cinta yang dituliskan Sang Ulama.
Sepanjang hayatnya Ibn Hazm tak kurang menulis 400 jilid kitab yang terdiri dari 80.000 halaman. Kitabnya yang masyhur di antaranya “Al-Fashl fi Al-Milal wal Ahwa Wan-Nihal” yang membahas tentang teologi, “Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam” yang berisi ilmu fiqih, dan “Jamharat Ansab Al-Arab” yang membahas genealogi bangsa Arab.
Kitab “cinta” tak hanya ditulis Ibn Hazm, Tercatat Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Ta'i atau Ibnu Arabi (1165-1240 M) juga menulis Kitab “Tarjuman al-Asywaq (Tafsir Kerinduan)”.
Kitab ini berisi kumpulan puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para muridnya biasa menyenandungkan
“Jika ia bicara, semua yang ada jadi bisu. Ia adalah matahari di antara ulama. Taman indah di antara para pujangga. Wajahnya begitu jelita. Otaknya cemerlang. Tutur bahasanya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan.”
Bait-bait indah itu dituliskan Ibn Arabi untuk Sayyidah Nizam. Anak gadis Syeikh Abu Syuja’, salah satu gurunya yang mendapat gelar Syaikhah al Haramain atau guru besar untuk wilayah Makkah dan Madinah.
Kelak dikemudian hari, Kitab “Tarjuman al-Asywaq” yang ditulisnya ini ditandai sebagai salah satu kitab kumpulan puisi yang paling dikenal luas, sekaligus paling sulit diterjemahkan.
Ah, barangkali seperti itulah untaian kata orang yang sedang jatuh cinta. Sulit diterjemahkan!
Tak hanya bait-bait indah ungkapan cinta yang terdokumentasik
Tersebutlah nama Rabi’ah Adawiyah (717-801 M), seorang muslimah berilmu yang menjadi guru Malik bin Dinar, Raba al Rais, Sheikh al Balkhi, dan Hasan Basrah.
Sepanjang hidupnya, banyak ulama hingga penguasa yang meminangnya, seperti Gubernur Basrah, seorang sufi bernama Hasan al Basri, hingga Imam Sufyan Ats-Tsauri, namun semua ditolaknya.
Ia menolak pinangan itu karena khawatir tak bisa membagi hatinya untuk suami dan anak-anaknya kelak.
Ia telah memberikan seluruh jiwa dan pikirannya untuk Allah semata. Meski demikian, ia paham sepenuhnya bahwa menikah sejatinya adalah perintah agama.
Penggalan bait puisinya yang abadi hingga kini, masih sering dibacakan dan dituliskan.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu Yang abadi padaku