Tsunami Aceh pada 2004 masih menjadi pembahasan, mulai dari ketinggian gelombang air, gempa besar yang menjadi penanda, hingga total kerusakan ribuan jiwa.
Gelombang tsunami dahsyat itu meratakan sebagian wilayah pesisir Aceh, terjadi hanya dalam waktu 30 menit, dengan ketinggian hingga 30 meter dan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam. Akibatnya, ratusan ribu orang meninggal dunia dalam bencana tersebut.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wisyanto kemudian mengkaji lebih dalam bencana ini. Ia kemudian menuliskannya dalam jurnal berjudul 'Tsunami Aceh 2004 Sebagai Dasar Penataan Ruang Kota Meulaboh' beberapa waktu lalu.
Dalam jurnal tersebut, ia mengutip laporan Survei Geologi AS (USGS) yang menjelaskan bahwa tsunami Aceh kala itu diawali dengan gempa tektonik pada 26 Desember 2004. Gempa tercatat mengguncang tanah Serambi Mekah pada pukul 07.59 WIB, berpusat di titik 3.316 derajat N, 95,84 derajat E dengan kekuatan M9,1.
Gempa tersebut memicu gelombang tsunami dahsyat yang menyapu daratan Aceh. Tak hanya dirasakan di Indonesia, gempa itu bahkan terasa hingga Sri Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia.
Gempa disebabkan pergerakan lempeng Bumi di bawah Pulau Sumatera, termasuk provinsi Aceh. Namun, disebutkan ada tiga zona yang dapat menyebabkan gempa kuat di wilayah itu.
Dalam jurnal berjudul 'Melihat Potensi Gempabumi dan Tsunami Aceh' yang terbit 2017, disebutkan bahwa gempa bisa jadi karena pertemuan lempeng Indo-Australia atau zona subduksi, zona patahan Sumatera, atau Investigator Fractur Zone (IFZ).
Gempa bumi di Aceh 20 tahun lalu yang memicu tsunami itu memiliki periode berulang, artinya gempa disertai tsunami bisa kembali terjadi di masa depan. Hal itu mengingatkan kembali agar terus memperhatikan sifat periode ulang gempa.
Ancaman megathrust
Menurut catatan Peta Sumber Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang disusun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta lembaga terkait lainnya, gempa dahsyat yang disusul tsunami di Aceh 20 tahun silam ini tak lepas dari megathrust.
Megathrust adalah daerah pertemuan antar-lempeng tektonik Bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami dahsyat. Zona ini diprakirakan dapat 'pecah' secara berulang dengan jeda hingga ratusan tahun.
Di Indonesia, tercatat setidaknya ada 13 zona megathrust yang mengepung Indonesia. Namun, beberapa di antaranya mengalami pecah segmen, sehingga membentuk segmen-segmen baru, seperti Segmen Mentawai yang dibagi menjadi Segmen Mentawai-Siberut dan Segmen Mentawai-Pagai.
Ada pula segmen Jawa yang dibagi menjadi tiga segmen, yaitu Segmen Selat Sunda-Banten, Segmen Jawa Barat, dan Segmen Jawa Tengah-Jawa Timur.
BMKG mencatat saat ini ada dua zona megathrust yang masih jadi ancaman karena sudah lama tak melepaskan energi besarnya. Dua zona ini diprediksi dapat 'meledak' secara berulang dengan jeda hingga ratusan tahun.
Dua zona itu Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Sibert. Kedua zona ini disebut seismic gap, yakni zona sumber gempa potensial tapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, menuturkan dua zona megathrust ini "tinggal menunggu waktu" untuk pecah. Meski begitu, tidak diketahui pasti kapan zona megathrust ini bakal mengguncang daratan.
"Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," kata Daryono dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Megathrust Selat Sunda, yang punya panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, tercatat pernah 'pecah' pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
Sementara, Megathrust Mentawai-Siberut, dengan panjang 200 km dan lebar 200 km, sertaslip rate 4 cm per tahun, pernah gempa pada 1797 dengan M 8,7 dan pada 1833 dengan M8,9.
Peringatan buat Jakarta di halaman selanjutnya...
Wilayah Jakarta tak luput dari bahaya ancaman megathrust. Wilayah ini diapit dua segmen megathrust, yakni Selat Sunda dan Jawa Tengah bagian barat.
Megathrust Selat Sunda menjadi ancaman serius karena zona ini bisa pecah kapan saja.
Eks Ketua Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) Subardjo dalam acara Sarasehan Nasional IKAMEGA pada 2018 silam sempat menyampaikan ancaman tersebut.
"Berdasarkan segmentasi megathrust pada Peta Gempa Bumi Nasional pada tahun 2017, kita ketahui ada dua megathrust yang dekat dengan Jakarta, yang bisa mempengaruhi kerusakan bangunan atau infrastruktur yang ada di Jakarta," kata Subardjo saat itu.
Subardjo mengatakan yang jadi kekhawatiran para ilmuwan adalah zona Megathrust Selat Sunda, karena saat ini merupakan zona seismic gap.
Menurut dia jika Megathrust Selat Sunda pecah, bukan tidak mungkin Jakarta akan mengalami nasib serupa di Aceh seperti 20 tahun silam.
"Jika terjadi, Megathrust Selat Sunda itu berpotensi gempa dengan 8,7 SR, setara dengan 9.0 Magnitude Moment atau MW. Itu setara dengan gempa di Aceh (Desember 2004), sehingga akan menimbulkan tsunami," kata Subardjo.
"Tapi yang menjadi kekhawatiran bagi kita adalah bukan tsunaminya, tapi getarannya atau goncangannya, mengingat jarak antara Megathrust Selat Sunda dengan Jakarta itu sekitar 200-250 km, di bawah tanah Jakarta itu adalah tanah endapan atau aluvial yang bisa menimbulkan amplifikasi atau pun besaran-besaran amplitudo," lanjut dia.
Potensi tsunami 20 meter
Wilayah yang paling terdampak apabila Megathrust Selat Sunda pecah adalah Banten, karena lokasinya yang sangat berdekatan. Bahkan, jika megathrust pecah dan mengguncang wilayah tersebut, ada kemungkinan besar gelombang tsunami dapat mencapai 20 meter dan menyapu wilayah di ujung barat Pulau Jawa itu.
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengatakan potensi tersebut muncul setelah ia dan sejumlah peneliti lainnya melakukan pemodelan tsunami dalam sebuah studi yang terbit pada tahun 2020.
"Tsunami ini, kalau dengan skenario satu selatan Jawa, maka potensi tinggi tsunami di selatan Jawa itu bisa mencapai 5-20 meter," kata Rahma.
Rahma menjelaskan dari hasil simulasi yang dia dan peneliti lain lakukan, mereka melihat akumulasi energi yang lebih besar ada di bagian barat Pulau Jawa.
"Mungkin di daerah Lebak, Banten [tinggi gelombang tsunami] bisa sampai 20 meter," jelas Rahma.
"Rata-rata daerah lainnya 15 meter, sama tinggi lah ya. Makanya kita keluarnya rata-rata di selatan Jawa itu potensinya bisa 20 meter dengan waktu tempuh rata-rata 20 menit," ujarnya menambahkan.
Pemerintah tidak berdiam diri menghadapi ancaman megathrust. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya sudah menambah jumlah alat pendeteksi sensor gempa untuk menghadapi potensi gempa dahsyat di zona megathrust.
Ia mengatakan saat ini jumlah sensor gempa mencapai 530 unit yang tersebar di seluruh negeri. Jumlah itu meningkat dari yang sebelumnya hanya 176 unit pada 2019.
"Khusus megathrust di seluruh Indonesia, kami sebelum tahun 2019, sensor-sensor gempa hanya berjumlah 176, tapi dalam rangka merapatkan sensor tadi, terutama dalam menghadapi megathrust, kami tambah menjadi 500 sensor. Saat ini angkanya sudah 530-an sensor," kata Dwikorita beberapa waktu lalu.
Menurut Dwikorita lonjakan jumlah sensor gempa itu tak lepas dari 'trauma' masa lalu ketika gempa dahsyat mengguncang Aceh pada 2004. Gempa yang bersumber di zona Megathrust Andaman-Sumatera itu mengeluarkan kekuatan hingga Magnitudo 9,3 sehingga memicu tsunami.
"Jadi megathrust itu skenario terburuk, naudzubillah min dzalik semoga tidak terjadi, tapi seperti Banda Aceh. Insya Allah kalau kita siap, tidak terjadi," lanjutnya.
Dwikorita juga mengungkap bahwa pihaknya dalam beberapa tahun terakhir fokus mengerahkan alat mitigasi gempa besar di sekitar Banten, wilayah yang paling terancam keberadaan Megathrust Selat Sunda.
Ia mengatakan sejak 2018 pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, baik itu pemerintah daerah, industri, hingga masyarakat setempat.
Dengan pihak industri, BMKG sudah bekerja sama untuk memasang peringatan dini, termasuk jalur-jalur evakuasi. Menurut dia mitigasi gempa besar megathrust yang berpotensi memunculkan tsunami dahsyat di wilayah itu butuh perhatian serius.
"Di sana juga banyak hotel, masyarakatnya padat penduduk, jadi total ini kami barangkali di selat sunda melebihi dari yang lain lah," tuturnya.
Ia merinci, setidaknya sejak 2019 pihaknya sudah memasang 39 unit seismograf atau alat untuk mengukur pergerakan Bumi. Padahal, sebelumnya hanya ada kurang dari 10 alat seismograf di wilayah tersebut.
Kemudian, BMKG juga sudah memasang 20 unit akselerograf atau yang dikenal dengan strong motion seismograf, sebuah perlatan yang digunakan untuk merekam guncangan tanah yang sangat kuat sehingga percepatan permukaan tanah terukur.
Menurut Dwikorita, pemasangan 20 unit akselerograf di Banten itu merupakan yang terbanyak dibanding wilayah lain.
Selanjutnya, Dwikorita mengklaim bahwa BMKG sudah memasang sebanyak 22 unit automatic water level atau tsunami gate yang berpotensi mendeteksi potensi tsunami yang kemungkinan disebabkan oleh gempa megathrust ataupun aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Bukan hanya itu, BMKG juga sudah menambah sirine evakuasi menjadi 15 unit dari sebelumnya hanya 2 unit di wilayah Banten. BMKG, kata Dwikorita, juga telah memasang 81 Warning Receiver System (WRS) di BPBD, hotel, dan industri.
Warning Receiver System merupakan salah satu alat diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami.
"Dan kami lakukan sekolah lapang gempa ada di 7 lokasi. Ini masih terus, terutama untuk berdayakan pemda dan masyarakat agar mereka mampu mandiri," jelas dia.
Sejarah Hari Ini 20 Tahun Lalu, Tsunami Aceh Bencana Alam Terbesar Tahun 2004, Ini Kronologinya
Inilah sejarah hari ini 20 tahun yang lalu, Tsunami Aceh jadi bencana alam terbesar di Indonesia saat tahun 2004.
Memperingati peristiwa Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi momen mendalam bagi masyarakat Aceh dan dunia.
Untuk diketahui, dari peristiwa Tsunami Aceh ini menelan lebih dari 220 ribu korban jiwa.
Hal ini disebabkan oleh gempa bumi dengan magnitudo 9,3 SR di dasar Samudera Hindia, menyebabkan gelombang tsunami setinggi diperkirakan 30 meter.
Hingga Tsunami Aceh 2004 tercatat sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia menurut PBB.
Simak selengkapnya kronologi gempa dan Tsunami Aceh 19 tahun yang lalu.
Tidak ada yang menduga bahwa Minggu, 26 Desember 2004 pagi akan terjadi bencana yang memakan ratusan ribu jiwa.
Hari itu, semua penduduk Aceh beraktivitas seperti biasanya.
Namun, sekitar pukul 07.58 WIB, gempa dangkal yang berpusat di dasar Samudera Hindia dengan magnitudo 9,3 mengguncang Aceh, seperti dikutip dari Kompas.com (26/12/2020), Wilayah sumber gempa berjarak sekitar 149 kilometer sebelah barat Meulaboh, Aceh dengan kedalaman 10 kilometer.
Para ahli berpendapat bahwa gempa tersebut menjadi gempa terbesar kelima yang pernah tercacat sejarah kehidupan manusia.
Profesor ilmu geologi di University of Colorado, Roger Bilham mengatakan, gempa itu melepas energi yang setara dengan bom 100 gigaton.
Gempa itu terjadi selama kurang lebih 10 menit dan menyebabkan air laut menjadi surut, serta garis pantai mundur hingga ratusan meter.
Namun, gelombang ombak dengan ketinggian mencapai 30 meter menyapu wilayah pantai barat Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Gelombang tsunami dengan kecepatan mencapai 360 km per jam itu menyapu bersih daratan dan menghancurkan permukiman penduduk.
Ratusan ribu warga di sekitar hanyut terbawa ombak.
Bahkan, Kapal PLTD Apung yang berada di laut terseret ke tengah daratan hingga 5 kilometer dari kawasan perairan.
Penyebab gempa dan tsunami Aceh 2004
Tak hanya Indonesia, pantai-pantai di Sri Lanka, India, Thailand, Malaysia, Somalia, Bangladesh, Maladewa, dan Kepulauan Cocos juga tersapu tsunami.
Namun, Indonesia menjadi negara dengan dampak paling parah.
Diberitakan Kompas.com (26/12/2018), gempa yang memicu tsunami itu disebabkan oleh interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Pergeseran batuan secara tiba-tiba memicu gempa disertai pelentingan batuan, sehingga terjadi di bawah pulau dan dasar laut.
Dasar samudera yang naik di atas palung Sunda kemudian mengubah dan menaikkan permukaan air laut di atasnya.
Akibatnya, permukaan datar air laut di pantai barat Sumatera ikut terpengaruh dan mengalami penurunan muka air laut.
Proses itu menggoyang air laut hingga menimbulkan gelombang laut yang disebut tsunami.
Ukuran gelombangnya bisa beberapa puluh sentimeter hingga puluhan meter.
Gempa dan tsunami Aceh dalam kenangan
Sepanjang 2005-2009, proses rekonstruksi dan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kembali kondisi Kota Aceh yang porak poranda dihantam tsunami.
Selama itu, banyak rumah bantuan didirikan, termasuk berbagai infrastruktur dan fasilitas umum.
Untuk mengenang bencana besar di Indonesia itu, dibangun sebuah museum di Kota Banda Aceh yang diberi nama Museum Tsunami Aceh.
Museum itu dirancang oleh Ridwan Kamil selaku arsitek. Di dalamnya, Museum Aceh menyuguhkan diorama yang menggambarkan peristiwa tsunami terjadi.
Daftar panjang nama korban juga terukir di bangunan itu.
Museum Tsunami Aceh bukan hanya menjadi situs untuk mengenang keganasan gempa dan tahun tsunami, tetapi juga menjadi pusat pembelajaran dan pendidikan kebencanaan bagi masyarakat.
Delisa Korban Tsunami Aceh yang Ceritanya Difilmkan
Masih ingat Delisa Fitri Rahmadani? Korban tsunami Aceh tahun 2004 lalu yang kisahnya difilmkan, kini sukses berkarier di bank.
Waktu kejadian tsunami Aceh tahun 2004, Delisa masih berusia 8 tahun.
Kala itu, gadis yang kini sudah tumbuh dewasa tersebut harus kehilangan satu kakinya.
Karena kisah pilunya itu pula, cerita kehidupan Delisa diangkat ke layar lebar dengan judul Hafalan Shalat Delisa.
Setelah 20 tahun berlalu, Delisa kini sudah dewasa.
Ia bahkan sudah bekerja di Bank Syariah.
Kondisi terkini Delisa Fitri Rahmadani itu diungkap oleh Dosen ITB, Imam Santoso melalui akun Instagramnya @santosoim.
"Bernama lengkap Delisa Fitri Rahmadani @delisafitrir_ adalah gadis kecil yang tahun 2004 harus kehilangan Ibu dan satu kakinya. Tsunami Aceh begitu dahsyatnya, mengambil 227,000 korban jiwa termasuk Ibunya Delisa.
Kaki Delisa sempat diamputasi 3 kali. Dibantu alm ayahnya, Delisa tetap ceria walau berdiri dengan satu kaki," tulis Imam Santoso, dikutip dari Tribunjabar.id, Selasa (12/11/2024).
Saat itu ada satu sosok yang menyemangatinya yang merupakan seorang jurnalis Australia.
Jurnalis bernama Cindy Workner itu menyemangati Delisa menggunakan tongkat untuk pertama kali.
"Beliau merupakan jurnalist yang meliput di Aceh, membantu dan menyemangati Delisa menggunakan tongkat untuk pertama kali," lanjut imam.
Kini, Delisa tumbuh menjadi gadis dewasa yang menginspirasi banyak orang.
"Delisa telah tumbuh menjadi gadis dewasa, saat ini sukses berkarir di Bank Syariah Indonesia. Delisa adalah contoh keterbatasan fisik berjalan dengan kaki prostatik, tak menghalanginya untuk tetap berprestasi," pungkas Imam.
Postingan Imam itupun kemudian banjir komentar dari warganet.
Banyak yang penasaran dengan sosok Delisa ini.
Sosok Delisa Fitri Rahmadani
Delisa Fitri Rahmadani lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh pada 15 Desember 1997.
Ulee Lheu adalah kawasan yang pernah dihantam gelombang tsunami tahun 2004 silam.
Kala itu, Delisa yang masih berusia 8 tahun harus kehilangan ibu, dan ketiga saudaranya.
Ia hidup dalam keprihatinan.
Namun, kisahnya itu mengundang perhatian masyarakat, hingga sampai dibuatkan film berjudul Hafalan Shalat Delisa.
Film tersebut dirilis pada tahun 2011.
Saat ini, Delisa sudah bekerja di Bank Syariah Indonesia (BSI) di Banda Aceh.
Ia berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 Ekonomi Manajemen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sabang (STIES) pada pertengahan tahun 2023.
Selain bekerja di perbankan, Delisa pun sering mendapatkan undangan untuk menjadi motivator.
Sangat banyak sisi kehidupan Delisa yang bisa menjadi inspirasi.
Dikutip dari Prohaba, selain dikenal sebagai sosok yang cantik dan ramah, Delisa juga selalu bersemangat menjalani kehidupan dan melawati harihari.
Kaki palsu tak menjadi penghambat baginya dalam beraktivitas.
Setiap hari, dia naik sepeda motor dari Ujong Batee ke kantor BSI di Banda Aceh.
Pada peringatan tsunami tahun ini, Delisa mendapatkan kesempatan istimewa, bertemu dengan Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beserta putranya yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), di ATA Kopi Banda Aceh, Senin (25/12/2023) malam.
Tidak hanya bagi Delisa, momen pertemuan ini juga memberikan kesan khusus bagi SBY dan AHY.
Terbukti, AHY kemudian memosting foto pertemuan Delisa dengan SBY di twitter bercentang biru miliknya.
AHY pun menuliskan kesannya terhadap pertemuan dengan Delisa ini.
“Senang sekali berkunjung ke Aceh kali ini, selain bertepatan dengan peringatan 19 tahun bencana tsunami, saya & pak @SBYudhoyono bertemu langsung dengan salah satu korban tsunami Aceh yang selamat. Namanya mba Delisa.
Kisahnya yang inspiratif sempat dijadikan novel dan film berjudul “Hafalan Shalat Delisa”.
Saat ngobrol, saya bisa merasakan semangat dan energi positif untuk terus maju dan mewujudkan cita-citanya.
Saya yakin semangat Mba Delisa ini juga dimiliki oleh anak-anak muda Aceh yang selalu berjuang untuk selalu bangkit, menjaga persatuan serta terus membangun Aceh kedepan,” tulis AHY.
Bagi Delisa, momen pertemuan dengan Presiden SBY ini merupakan sebuah kehormatan.
Sudah sejak lama Delisa menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan sosok pemimpin yang dianggapnya sangat demokratis itu.
“Merupakan suatu kehormatan bertemu bapak SBY, dimana tepatnya pada 18 tahun lalu Delisa pernah terbesit harapan dan keinginan di depan televisi saat Bapak sedang berpidato bahwa Delisa ingin suatu saat nanti bertemu dengan Bapak.
Dan alhamdulillah Allah maha baik, kemarin malam saat saweu Aceh, Delisa diundang bertemu dengan Bapak SBY,” kata Delisa saat diwawancarai Serambinews. com, Selasa (26/12/2023).
Di mata Delisa, SBY merupakan panutan dan sosok pemimpin yang sangat demokratis dalam mengambil keputusan.
Selain itu, selama masa jabatannya sebagai Presiden keenam, SBY banyak berkontribusi untuk Aceh dalam hal kebencanaan.
Saat pertemuan itu berlangsung, Delisa mengaku tak mampu membendung air matanya.
“Kemarin momen Delisa bertemu dengan bapak (SBY), saya terharu, tidak bisa berkata-kata.
Saya juga sempat menangis di depan bapak, bahwa sosok pemimpin yang selama ini diidamkan menjadi panutan berdiri di hadapan Delisa, itu suatu kehormatan dan harapan yang terwujud di tahun ini,” imbuhnya.
Tak lupa, Delisa juga menyampaikan pesan kepada generasi milenial untuk selalu waspada terhadap bencana.
Mulai memperbanyak ilmu soal mitigasi bencana, karena menurutnya bukan tidak mungkin kejadian bencana tidak akan terulang lagi.
“Pesan Delisa kepada milenial tentunya kita tahu bahwa 19 tahun berlalu tsunami Aceh, bukan yang singkat namun masih terasa seperti kemarin kejadiannya.
Jadi harapan Delisa peringatan tsunami ini setiap tahunnya tidak hanya untuk dikenang tetapi juga diambil intisarinya, seperit edukasi terkait penanggulangan bencana, khususnya di Aceh, bagaimana menyiapkan diri dalam keadaan darurat seperi tsunami, gempa dan lain-lain.”
“Kita tidak pernah tahu 50 tahun atau 100 tahun ke depan apakah kejadian yang sama akan terulang kembali, tapi setidaknya kita memitigasi risiko bencana, mengurangi korban jiwa dan potensi kerugian, itu harapan delisa, semoga tiap tahunnya semoga setiap tahunnya ada cara lain dari milenial untuk edukasi seluruh lapisan masyarkat terkait bencana tsunami ini,” katanya.
Terakhir, Delisa turut mendoakan para syuhada yang telah menghadap Sang Khalik pada kejadian tsunami Aceh 2004 lalu.
“Jangan lupa untuk terus mendoakan kepada seluruh korban tsunami Aceh, baik yang selamat maupun tidak selamat.
Kita doakan semoga dalam perlindungan Allah SWT dan yang telah kembali kita doakan ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT,” pungkasnya.