TIRAKAT SEBAGAI TANDA CINTA KASIH

TIRAKAT SEBAGAI TANDA CINTA KASIH


Mari kita mengingat sejenak tentang kisah istri Rasulullah, Siti Khadijah radliyallahu anha.

Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliky al-Hasani, mengisahkan betapa pengorbanan Siti Khadijah r.a.istri tercinta Rasulullah SAW dalam mendukung perjuangan dakwah beliau.

Dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah SAW pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah bersabda, "Wahai Khadijah tetaplah kamu di tempatmu."

Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi.

Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makananpun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah r.a.

Kemudian, Rasulullah Saw mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah.

Beliau pun terjaga.
"Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?" tanya Rasulullah dengan lembut.

"Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?" lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

"Wahai suamiku, wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan." jawab Khadijah.

"Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya.

"Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyebarangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.

"Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.

"Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.

Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.

Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

"Ilaa hadlratin Nabiyyil musthafa, wa ilaa Khadijah al Kubra, Al-Fatihah."

Demikian dikisahkan dalam Kitab Al-Busyra, karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliky al Hasani.

Cerita di atas menggambarkan betapa besar pengorbanan yang dilakukan seorang istri yang bernama Khadijah untuk suaminya seorang utusan Allah yang kala itu sedang memperjuangkan agama Allah. Maka pantaslah jika pengorbanan yang dilakukan oleh Khadijah membuahkan hasil. Kita dapat melihat bagaimana hasil dari jerih payah beliau untuk memuliakan Islam, menjadikan Islam rahmatan lil'aalamiin. Kita juga dapat melihat kealiman dzurriyah Nabi.

Di sinilah peran seorang Khadijah sebagai istri dan sebagai ibu dipertaruhkan. Istri adalah kunci semangat untuk suami dan ibu adalah kunci semangat untuk anak- anaknya. Dan yang pasti wanita adalah kunci dari peradaban dunia ini. Itulah pengorbanan yang merupakan bagian dari "tirakat".Pengorbanan wanita yang luar biasa. Teramat pantas jika beliau mendapatkan gelar Ummul mukminin .

Wanita mulia yang tidak "kedunyan", yang menjadikan dunia ini sebagai washilah untuk berjuang di jalan Allah, washilah untuk meninggikan agama Allah. Wanita yang mencintai dengan segenap pengorbanan demi yang dicintai, demi mendukung perjuangan suaminya untuk memperjuangkan agama yang benar, demi menjaga kealiman dzurriyyahnya, beliau rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya.

Dan balasan Allah kepada Khadijah tak perlu diragukan lagi. "Surga telah menanti".Setiap hasil tak akan mengingkari usaha. Dan Allah adalah dzat yang selalu menepati janjiNya.

Lantas bagaimana dengan kita?

Ada sebuah quote yang menggelitik di benak saya ," TIRAKATMU MENENTUKAN MASA DEPAN SUAMIMU", oleh Nyai Noer Khadijah Hasbullah. Quote yang sungguh memotivasi ibu-ibu di seantero raya ini. Nyai Noer Khadijah badalah istri dari KH. Bisri Sansuri. Beliau adalah nenek dari "Gus Dur", KH.Abdurrahman Wahid.

Nyai Khadijah lahir di Jombang pada 1889. Ia tumbuh besar di lingkungan pesantren dan merupakan putri KH. Hasbullah dari Pesantren Tambakberas. Pada 1917, di usia 28, ia dan suaminya, KH. Bisri Syansuri, membuka Pesantren Mambaul Maarif. Pesantren ini kemudian menjadi pesantren pertama di Pulau Jawa yang membuka kelas untuk perempuan.

Khadijah terus mengelola Mambaul Maarif bersama suaminya hingga meninggal pada 1980 di Jombang. Ia dikaruniai usia yang sangat panjang: 91 tahun.

Suatu malam Ibu Nyai Khadijah sedang bercengkrama dengan sang suami KH. Bisyri Syansuri, ulama besar kelahiran Tayu Pati Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang.

“Pak, saya kok ingin bisa berbesan dengan Mbah Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng)?” kata Bu Nyai Khadijah.

“Waaahh. Kayaknya gak mungkin. Kita ini siapa? Beliau itu guruku dan para ulama,” kata Kiai Bisri merendah.

“Tapi tak ada salah salahnya to Pak?” balas Nyai Khadijah.

“Iya Bu, semoga impian tersebut bisa tercapai. Mari kita bersama-sama beriyadhoh agar doa tersebut terkabulkan,” jawab Mbah Bisri.

Begitulah kiranya dialog antara Mbah Bisri Syansuri dan istrinya yang tak lain adalah adik kandung KH. Wahab Hasbullah, kawan seperguruan dan seperjuangan di Nahdlatul Ulama. Dialog singkat di atas menggambarkan impian sepasang suami istri yang mendambakan keturunan yang saleh dari sebuah mahligai pernikahan dengan seorang ulama besar yang terkenal dengan kealimannya tersebut. Memang terkesan mustahil namun tak ada yang tak mungkin di mata Allah SWT.

Dan akhirnya dengan segala tirakat dan riyadloh beliau terutama dari Nyai Khadijah, keinginan tersebut dikabulkan Allah dengan berjodohnya putri beliau Nyai Sholichah dan KH.Wahid Hasyim putra ulama besar KH.Hasyim Asy'ari, dari garis keturunan ini akan melahirkan keturunan yang luar biasa, di antaranya adalah KH. Abdurrahman Wahid. Yang kita kenal sebagai Bapak pluralisme.

Tirakat atau riyadloh serta amaliyah yang banyak dilakukan oleh para ulama pantas kita jadikan sebagai inspirasi dan teladan. Dengan tirakat kita dapat berlatih mengekang hawa nafsu. Karena pada intinya tirakat adalah usaha seseorang untuk dapat mengekang hawa nafsu dalam usaha mendekatkan diri padaNya.Dengan kedekatan itu kita berharap memperoleh ridloNya, sehingga senantiasa mendapat bimbingan dan pertolongan dariNya.

Sering berpuasa, selalu menepi mendekat kepadaNya di penghujung malam, melakukan amalan-amalan sunnah dan memperbanyak dzikir, membaca Alquran ataupun amaliah yang lain jika dilakukan secara istiqomah dapat kita niatkan sebagai sarana nirakati diri kita maupun anak cucu kita, dengan harapan mendapatkan keridloanNya.

Tirakat tidak terbatas hanya pada amaliah akhirat saja, seperti puasa, sholat, dan dzikir. Namun, amaliah dunia seperti memperjuangkan agama, mencari nafkah keluarga bagi suami،, taat pada suami bagi istri, menerima keadaan dengan ikhlas, tentu dapat disebut tirakat, karena pada dasarnya tirakat adalah mengekang hawa nafsu. Amaliyah dunia sekalipun jika diniatkan ibadah, maka jadilah amalan akhirat.

Memang benar pula buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu pula kisah-kisah ulama-ulama besar yang lahir dari keluarga yang biasa, namun kedua orangtua telah sungguh - sungguh bertirakat dan senantiasa menjaga dari perkara syubhat apalagi haram, agar jangan sampai masuk ke dalam perut, yang tentu akan berpengaruh besar pada kepribadian anaknya kelak.

Kisah Imam Syafii atau Imam al-Ghazali telah menjadi pelajaran berharga bahwa tirakat, penghormatan pada ulama dan kewiraian orang tua cukup berpengaruh pada masa depan anaknya kelak.Terutama peran seorang wanita yang bergelar "Ibu" sangat berperan penting dalam hal ini. Wanita yang bersikap wara' tidak "kedunyan" , yang selalu mengedepankan ridloNya sebagai tujuan, maka darinya lah akan lahir generasi yang penuh dengan kealiman. Karena itu benarlah jika ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya.
Maka pantas jika dengan tanggung jawab besarnya, maka Allah meletakkan surga di bawah telapak kakinya.

Syaikhona Maemun Zubair Allahu yarham pernah berpesan "Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo, mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune”

Artinya, “Jika memilih istri sebaiknya (wanita yang) tidak begitu suka dunia, karena seberapa sholih anakmu tergantung dari seberapa sholih ibunya”

Bapak B.J. Habibie Allahu yarham pernah mengatakan “Di balik sukses seorang tokoh hebat, tersembunyi peran dua wanita yang sangat menentukan yaitu: ibu dan istri.”

Dengan tirakat yang dilakukan seorang wanita, maka nyatalah sebagai bukti cintanya kepada suami dan keluarganya.

Begitu mulianya wanita, karena di tangannya dipertaruhkan peradaban dunia ini. Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah.

Aku tidaklah semulia Siti Khadijah. Tidaklah setaqwa Aisyah. Pun tidaklah setabah Fatimah. Aku hanya seorang wanita akhir zaman yang punya impian menjadi wanita sholihah.

Semoga kita bisa meneladani perilaku para kekasih- kekasih Allah tersebut.
Lahumul Fatihah...

Salam.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama