SERASA KA’BAH DI PELUPUK MATA
Pemerintah melalui Kementerian Agama, Selasa (2/6), akhirnya memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji pada tahun 2020 ini. Hal tersebut sebagai upaya pemerintah melindungi warga negaranya pada masa pandemi Covid-19 ini.
Keputusan itu disampaikan langsung oleh Menteri Agama Fachrul Razi dalam konferensi pers secara virtual. Dalam pengumuman itu, Menteri Agama didampingi oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid serta Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh [Republika, 2/6].
Qadarullahu wa maa syaa-a fa'aal. Takdir Allah adalah apa yang dikehendakiNya dan itu pasti terjadi.
Saya bisa bayangkan seperti apa kesedihan mereka yang sudah melunasi ONH tahun ini. Perjalanan yang sudah ditunggu-tunggu, mungkin belasan tahun lamanya dengan penuh harap. Bilakah tahun 2020 datang?
Begitu pengumuman pelunasan ONH dibuka, tak terkira kebahagiaan yang membuncah di dada. Impian untuk melihat Ka’bah serasa di pelupuk mata.
Manasik sudah dilakukan di tengah keterbatasan tersebab pandemi. Barang-barang yang sekiranya dibutuhkan di sana, mulai dibeli. Anak-anak dan sanak kerabat mulai dikondisikan dan dipamiti untuk ditinggal ibadah 40 hari.
Tetiba hari ini tersiar kabar pengumuman pembatalan pemberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2020.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Ah, membayangkan pun hati saya gerimis.
Menjelajah bumi Allah yang luas memberi saya satu hikmah. Perjalanan ke rumah Allah di luar jangkauan manusia. Tak ada upaya yang bisa dilakukan, selain doa untuk mendapat ridhaNya.
Uang, waktu, persiapan matang, dokumen lengkap, tak ada artinya, bila Allah belum membukakan pintu rumahNya untuk kita.
Sebaliknya, banyak cerita yang seakan mustahil, namun ternyata mudah saja bagi Allah untuk mengundang saja siapa yang dikehendaki bersujud di kaki Ka’bahNya.
Saya merasakan betul. Berkali-kali melakukan perjalanan yang “luar biasa”. Namun, sepanjang itu bukan perjalan ke Baitullah, masih bisa diupayakan manusia.
Last minutes menjelang berangkat ke London, visa saya belum keluar, masih bisa diupayakan. Lain waktu, manifes visa ke Mesir ditolak di bandara King Abd Azis, Jeddah, perjalanan seketika bisa direrute ke Istanbul. Rumitnya perjalanan ke Uighur karena ketatnya aturan yang dikeluarkan pemerintah Cina, masih bisa diatasi.
Tapi, kalau perjalanan ke Tanah Suci, itu lain cerita. Sepenuhnya itu hak perogratif Allah untuk menentukan siapa yang pantas diizinkanNya.
“Semoga ini keputusan terbaik. Semua pilihan yang ada tetap sulit. Baik untuk jamaah maupun penyelenggara. Jika tetap berangkat, risikonya pun tidak kecil bagi jamaah,” jelas Pak Rustam Sumarna Yahya, CEO Khalifah Tour sekaligus Ketua Dewan Penasihat HIMPUH, sahabat yang langsung saya hubungi begitu keluar kabar pembatalan haji tahun ini.
Sebagai gambaran, semisal ditemukan satu jamaah dalam pesawat suspect Covid, maka satu pesawat harus dikarantina setidaknya 14 hari. Padahal pelaksanaan haji tidak sama dengan umrah. Ada tenggat waktu yang tidak bisa dilanggar, yakni 9 Dzulhijjah harus berada di Arafah atau hajinya tidak sah.
Begitupun protokol kesehatan lainnya. Yang sudah dikeluarkan hanya untuk mengatur shalat berjama’ah di masjid. Tentulah perlu protokol khusus untu mengatur thawaf, sa’i, hingga wuquf di Arafah.
Mobilitas jutaan manusia saat berada di prosesi Arafah-Mina-Muzdalifah perlu strategi yang extraordinary. Jauh lebih pelik ketimbang pada situasi normal.
Bagaimanapun penerimaan kita atas kejadian ini, satu hal yang pasti: semua yang berasal dari Allah pasti sempurna adanya.
Semoga jama’ah yang tahun ini harusnya berangkat, namun tidak sampai umur di tahun depan, Allah tetap berikan pahala kemabruran padanya. Aamiin YRA.