LEPAS TAHTA DI TENGAH KUASA
Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad mengundurkan diri, Senin (24/2). Dia telah menjabat posisi tersebut selama dua periode pemerintahan Malaysia.
Dengan surat pengunduran dirinya, Mahathir Mohamad menjadi perdana menteri terlama sekaligus yang terpendek dalam periode kepemimpinan Malaysia.
Pada periode pertama, Tun memimpin berada di bawah Barisan Nasional (BN) dengan masa jabatan selama 22 tahun atau lima periode. Dia pemimpin Malaysia antara 16 Juli 1981 hingga 31 Oktober 2003 dalam usia 78 tahun.
Pada periode kedua, Mahathir kembali menjabat dengan dukungan koalisi Pakatan Harapan pada pemilihan umum 9 Mei 2018 dalam usia 92 tahun. Jabatan ini kembali ke tangannya setelah jeda hingga 15 tahun pensiun dari dunia politik. [Republika, 24/2]
Hari ini dunia dikejutkan dengan kabar pengunduran diri DR Mahathir Mohammad (92). Terlepas dari gonjang-ganjing isu politik yang terjadi di Malaysia. Mahathir adalah salah satu di antara pemimpin Muslim yang punya “nyali”.
Kembalinya ke panggung politik di usianya yang menginjak 90, membuat banyak pihak terkejut. Namun, sepanjang hampir dua tahun ini ia bisa membuktikan, tak hanya pikirannya yang masih jernih, kesehatan fisik yang prima, keberaniannya pun belum surut.
Berkali-kali dengan lantang ia menyuarakan keberpihakannya pada saudara-saudara kita di Palestine. Yang membuat Israel berang bukan kepalang.
Terlepas dari apa yang terjadi di negeri jiran hari ini, sejarah pernah mencatat tentang pengunduran diri sultan yang tengah bertahta.
Di antaranya adalah Sultan Murad II, ayah Sultan Muhammad Al Fatih. Sejatinya, Muhammad Al Fatih tidak pernah diproyeksikan menjadi pengganti ayahnya karena dia mempunyai dua kakak laki-laki, Ahmed dan Ali.
Seperti putra-putra sultan sebelumnya, di usia 2 tahun, dia dan Ahmed kakaknya dikirim ke kota Amasya untuk belajar.
Di usia 6 tahun, Muhammad Al Fatih diangkat menjadi gubernur Amasya menggantikan Ahmed yang meninggal mendadak.
Dua tahun memimpin Amasya, dia bertukar tempat dengan kakak keduanya, Ali, untuk memimpin kota Manisa.
Takdir Allah, Ali kemudian terbunuh. Peristiwa ini sangat memukul Sultan Murad II karena Ali adalah anak yang digadang-gadang akan menggantikannya kelak.
Itu pula yang menjadi salah satu penyebabnya mundur dari posisinya sebagai sultan. Sultan Murad II ingin lebih banyak bertaqarrub pada Allah, dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada Muhammad Al Fatih di usianya yang masih 11 tahun.
Sultan Murad II merasa aman menyerahkan kekuasaan karena telah menandatangani perjanjian damai dengan Raja Hongaria Ladislas dan sekutu-sekutunya untuk menghentikan peperangan selama 12 tahun.
Dalam benak Sultan Murad II, 12 tahun tanpa diganggu perang adalah waktu yang cukup bagi Muhammad Al Fatih untuk mematangkan kecakapannya mengurus negara.
Namun, diangkatnya sultan yang masih sangat belia ini membuat Paus Eugene IV membujuk Raja Ladislas mengkhianati perjanjian damai yang telah disepakati bersama.
Keadaan menjadi kacau dan membuat Muhammad Al Fatih menuliskan surat yang sangat terkenal itu, seperti yang ditulis Ust Felix Siauw dalam bukunya Muhammad Al-Fatih 1453.
“Siapakah yang menjadi sultan saat ini, saya atau ayahanda? Bila ayahanda yang menjadi sultan, datanglah kemari dan pimpin pasukanmu. Tapi bila ayahanda menganggap saya sebagai sultan, dengan ini saya meminta ayahanda segera kemari dan memimpin pasukan saya.”
Demikianlah sejarah mencatat. Pertempuran yang dasyat itu terjadi di lembah Pentallaria pada 17 Oktober 1448 selama tiga hari.
Sultan Murad II yang membawa 40 ribu pasukan meletakkan kertas perjanjian yang telah dilanggar itu di ujung tombaknya sehingga pasukan musuh bisa melihat pengkhianatan yang dilakukan rajanya dengan disaksikan langit dan bumi.
Setelah Sultan Murad II memperoleh kemenangan, dia kembali didaulat menjadi sultan Utsmani dan Muhammad Al Fatih kembali menjadi gubernur di Manisa.
Dalam kitab Al-Nujum Az-Zahirah, Sultan Murad II digambarkan sebagai sosok sultan yang paling