BANGSA PERUSAK PORAK PORANDA

BANGSA PERUSAK PORAK PORANDA


Pria itu berjalan bergegas sambil terus bicara. Kameramen dari belakang mengikutinya. Mereka memasuki restricted area yang kini tampak terbuka. Pagar tinggi berlapis kawat berduri terlihat porak-poranda.

“Ini semua peralatan militer yang ditinggalkan pasukan Amerika,” jelasnya sambil menunjuk mobil, kendaraan berat, hingga helikopter yang terlihat mangkrak. Ia adalah Ali Mustafa, reporter TRTWorld yang melaporkan dengan penuh semangat dari bandara Hamid Kharzai, Kabul.

Hampir semua peralatan militer yang ditinggalkan pasukan Amerika di bandara telah dirusak. Banyak komponen penting yang sengaja diambil atau dihancurkan, sehingga harus dilakukan banyak perbaikan untuk bisa dioperasikan kembali.

Namun, tidak demikian dengan peralatan militer yang direbut di kota Kandahar. Kandahar adalah kota terbesar kedua di Afghanistan di mana Amerika memiliki salah satu pangkalan militer utamanya yang berisi berbagai peralatan substansial.

Seperti helikopter UH-60 Black Hawk. Ini merupakan jenis helikopter perang termahal yang harganya sekitar 5,9 juta USD. Pesawat serang ringan A-29 Super Tucano yang nilainya sekitar 20-30 juta USD.

Kendaraan lapis baja MRAP yang harganya berkisar antara 500 ribu -1 juta USD. Juga drone militer mini ScanEagle yang setiap sistemnya menelan biaya sekitar 3,2 juta USD.

Dengan peralatan militer yang serba canggih itulah negeri para mullah ini diserang dalam perang berkepanjangan hingga tercabik-cabik, menyisakan duka dan kesengsaraan bagi rakyatnya.

Sejarah mencatat, bukan di abad modern ini saja munculnya bangsa perusak di muka bumi. Tujuh abad lalu, dari balik sunyinya gurun Gobi, muncul pasukan brutal yang membumihanguskan apa saja yang dilaluinya.

Pergerakan mereka sangat cepat. Ibnu ‘Athir (wafat 1231 M) dan ahli Geografi Yaqut al-Hamawi (wafat 1229) mencatat bagaimana tentara dari pangkat terendah sampai tertinggi sibuk memenggal kepala ribuan manusia dan memisahkan dari tubuhnya di wilayah yang mereka kuasai.

Tak tanggung-tanggung, kekejian itu mereka lakukan semenjak keluar dari stepa Mongolia hingga satu wilayah yang bernama Ain Jalut. Sebuah lembah yang berada di selatan Palestine.

Digambarkan, kengerian itu meruntuhkan mental siapa saja yang mendengarnya. Tak heran sebelum pasukan itu sampai ke negerinya, para Sultan dan penguasa langsung menyerah dan memberikan apa saja yang diminta.

Meski begitu, bangsa Mongol hanya mengenal satu bahasa, yakni bahasa kekerasan. Sekalipun musuh telah menyerah, mereka tetap membantai sampai tak ada yang tersisa.

Kebrutalan itu telah sampai puncaknya. Pada situasi seakan mereka tak ada yang bisa mengalahkan lagi, ternyata dengan satu seruan, “Wa Islama…. Wa Islama… Islam memanggilmu… Islam memanggilmu,” yang diteriakkan seorang diri oleh pemimpin pemberani, Sultan Saifuddin Muzhafar Qutuz, pasukan Mongol harus menggali kuburnya sendiri.

Adakah kemiripan kisah pasukan Mongol pada waktu itu dan invasi Amerika kini?

Hari ini, 3 September 1260, lembah Ain Jalut menjadi saksi. Sungguh, pertolongan dari Allah dan kemenangan itu dekat (waktunya). Sebagaimana yang kita saksikan di Afghanistan saat ini. 

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama