LENGKAP ILMU HADITS
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. ... Menurut Izzudin Ibnu Jamaah: "Ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan (hadis)."
Hadits Menurut Bahasa, Fungsi, dan Kedudukannya
Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran.
Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan, percakapan, berbicara.
"Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW," .
Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir para sabahat dan Tabi'in.
Hadits memiliki makna yang relatif sama dengan sunnah, khabar, dan atsar. Hanya saja penyebutannya bisa disamakan atau dibedakan.
Fungsi hadits
Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar, sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayat at-Ta'kid dan bayan at-Isbat. Dalam hal ini hadits berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al Quran.
2. Bayan at-Tafsir
Fungsi hadits sebagai bayan at-Tafsir yaitu memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran yang masih mujmal (samar atau tidak dapat diketahui), memberikan pesyaratan ayat-ayat yang masih mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat yang masih umum.
3. Bayan at-Tasyri
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak didapati dalam Al Quran. Fungsi ini disebut juga dengan bayan za'id ala al kitab al-karim.
4. Bayan an-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh memiliki arti yang beragam, di antaranya al ibtal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan) atay at taqyir (mengubah). Adapun yang disebut dengan bayan an nasakh adalah adanya dalil syara' (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada) karena datangnya dalil berikutnya.
Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al Quran. Ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya Al Quran bersifat qath'i (pasti) sedangkan hadits bersifat zhanni al wurud (relatif) kecuali yang berstatus mutawatir (berturut-turut).
Macam-Macam Hadist dan Pengertiannya dalam Agama Islam
Hadits sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim dari tahdith yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Segala tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat Alqur’an secara mutlak dan jelas, dicari penyelesaian dalam macam-macam hadits.
Periwayatan Hadist
Menurut Jurnal Ilmu Hadits UIN Sunan Gunung Djati Bandung, periwayatan hadist dan penulisan hadist jauh berbeda dengan periwayatan dan penulisan Al-qur’an. Untuk Al-Quran, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawattir (berita yang diriwayatkan oleh orang banyak). Sedangkan periwayatan hadist, sebagian dilakukan secara mutawattir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad (disampaikan oleh orang orang yang tidak mencapai tingkat mutawattir).
Berdasar uraian di atas dan dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat Al-qur’an tidak perlu diteliti lagi tentang orisinalitasnya. Sementara hadist nabi yang berkategori ahad diperlukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut.
Secara umum, macam-macam hadist terbagi menjadi 3 yaitu hadist shahih, hadist hasan, dan hadist dhaif.
1. Hadist Shahih
Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadist shahih menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat atau hadist yang selamat.
Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah sebagai berikut: "Hadist yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber'illat."
Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan hadist dengan lebih ringkas yaitu: "Hadist yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber'illat dan tidak syadz."
Dari kedua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadist shahih merupakan hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.
Syarat-Syarat Hadist Shahih
Menurut ta'rif muhadditsin, suatu hadist dapat dikatakan shahih apabila telah memenuhi lima syarat:
1. Sanadnya bersambung. Tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadist menerima periwayat hadist dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
2. Periwayatan bersifat adil. Periwayat adalah seorang muslim yang baligh, berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan-perbuatan maksiat.
3. Periwayatan bersifat dhabit. Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
4. Tidak janggal atau Syadz. Adalah hadist yang tidak bertentangan dengan hadist lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
5. Terhindar dari 'illat (cacat). Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik atau yang kelihatan samar-samar.
Pembagian Hadist Shahih
Terdapat macam-macam hadist shahih. Para ulama dan ahli hadist membaginya menjadi dua macam yaitu:
1. Hadist Shahih Li-Dzatih
Adalah hadist shahih dengan sendirinya. Artinya hadist shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan di atas atau “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya.” Dengan demikian penyebutan hadist shahih li-dzatih dalam pemakaian sehari-hari cukup disebut dengan hadist shahih.
2. Hadist Shahih Li-Ghairih
Adalah hadist yang keshahihannya dibantu oleh keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadist shahih.
2. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : “Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih. Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
Syarat-Syarat Hadist Hasan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung 'illat.
8 dari 10 halaman
Pembagian Hadist Hasan
Terdapat macam-macam hadist hasan. Para ulama dan ahli hadist membaginya menjadi dua macam yaitu:
1. Hadist Hasan Li-Dzatih
Adalah hadist hasan dengan sendirinya. Yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.
2. Hadist Hasan Li-Ghairih
Adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadist hasan yang bukan dengan sendirinya. Artinya, hadist tersebut berkualitas hasan karena dibantu oleh keterangan hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama dapat terangkat derajatnya oleh keberadaan hadist yang kedua.
3. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-Nawawi mengenai hadist dhaif adalah sebagai berikut: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
Pembagian Hadist Dhaif
1. Dhaif dari sudut sandaran matannya.
Dhaif dari sudut sandaran matannya terbagi mejadi dua yaitu: a) Hadist Mauquf, adalah hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. b) Hadist Maqhtu, adalah hadist yang diriwayatkan dari Tabi'in berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.
2. Dhaif dari sudut matannya.
Hadist Syadz adalah hadist yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan hadistnya bertentangan dengan (kandungan hadist) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ketsiqahannya.
3. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk di dalamnya adalah: a) Hadist Maqlub, adalah hadist yang mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. b) Hadist Mudraf, atau disisipkan. Secara terminologi, hadist mudraf adalah hadist yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan. c) Hadist Mushahhaf, adalah hadist yang terdapat perbedaan dengan hadist yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah. Perubahan juga dapat terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
4. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama.
Yang termasuk hadist dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu: a) Hadist Maudhu, yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan. b) Hadist Munkar, adalah yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
5. Dhaif dari segi persambungan sanadnya.
Hadist-hadist yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut persambungan sanadnya adalah Hadist Mursal, Hadist Mungqathi', hadist Mu'dhal, dan Hadist Mudallas.
6. Berhujjah dengan Hadits Dhaif.
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadist dhaif bukan maudhu. Adapun hadist dhaif bukan hadits maudhu', maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1. Melarang secara mutlak.
2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadist yang memperbolehkan berhujjah dengan hadist dhaif untuk keutamaan amal memberikan 3 syarat: a) Hadist dhaif itu tidak keterlaluan. b) Dasar amal yang ditunjukan oleh hadist dhaif tersebut masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadist yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c) Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadist tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuannya ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi
Hadits adalah pedoman kedua dalam agama Islam setelah Al Quran. Mempelajari hadits begitu penting bagi kita sebagai umat Islam. Karena dengan mempelajarinya maka kita akan mengetahui apa yang disabdakan oleh Nabi kita.
Mempelajari hadits juga merupakan konsekwensi dari syahadat kita terhadap kerasulan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari ilmu ini.
Secara umum ilmu hadits terbagi menjadi dua. Yaitu ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah. Keduanya memiliki pembahasan yang berbeda namun intinya sama-sama membahas tentang hadits.
Sebelum kita menginjak pada materi hadits yang lebih mendalam ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu hadits. Pada artikel ini insya Allah akan kita bahas bersama tentang pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadits qudsi. Berikut pemaparannya :
A. Pengertian Hadits
Hadits (الحديث) secara bahasa berarti Al-Jadiid (الجديد) yang artinya adalah sesuatu yang baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (القديم) yang artinya sesuatu lama. Sedangkan hadits menurut istilah para ahli hadits adalah:
مَا أُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ، أَوْ فِعْلٍ، أَوْ تَقْرِيْرٍ، أَوْ وَصْفٍ
Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.
Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, maupun kepribadiannya.
Hingga gerak dan diamnya ketika terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai hadits. Maka dari itu pengertian ini juga mencakup setiap keadaan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam menurut para ahli hadits.
B. Pengertian Sunnah
Sunnah (السنة) secara bahasa berarti As-Siirah Al-Muttaba’ah (السيرة المتبعة) yang berarti jalan yang diikuti. Setiap jalan dan perjalanan yang diikuti dinamakan sunnah, baik itu jalan yang baik maupun jalan yang buruk.
Adapun sunnah menurut istilah para ahli hadits adalah : Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, kepribadian, maupun perjalanan hidup, baik itu sebelum diutus maupun sesudah diutus.
C. Perbedaan Antara Hadits dan Sunnah
Menurut prespektif ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah kenabiannya.
Sedangkan sunnah pengertiannya lebih menyeluruh dan lebih umum. Karena sunnah juga mencakup perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum kenabiannya dan setelah kenabiannya.
D. Contoh Hadits
Setelah diuraikannya pengertian hadits, maka kita dapat mengetahui bahwa secara umum hadits itu ada yang berupa perbuatan, perkataan, maupun persetujuan atau penetapan. Agar lebih memudahkan dalam memahaminya, berikut ini contoh ketiga jenis hadits tersebut :
1. Hadits Qouliy (Perkataan)
Adalah hadits yang berupa sabda atau ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Biasanya disebutkan lafadz qaala (قَالَ) dalam redaksinya. Contoh :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Dari Umar bin Khathab radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya.”
2. Hadits Fi’liy (Perbuatan)
Adalah hadits yang berupa perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Biasanya disebutkan lafadz kaana (كَانَ) dalam redaksinya. Contoh :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَائِمًا وَقَاعِدًا، فَإِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا، وَإِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا
Dari ‘Aisyah berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sholat berdiri dan duduk. Ketika memulai sholat dengan berdiri maka ruku’ dengan berdiri. Dan ketika memulai sholat dengan duduk maka ruku’ dengan duduk.”
3. Hadits Taqririy (Persetujuan)
Adalah hadits yang berupa persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan atau perilaku sahabat beliau. Contoh :
عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الْأَيْدِي عَلَى صَلَاةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَكُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ، فَقُلْتُ لَهُ: أَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا؟ قَالَ: كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا
Dari Mukhtar bin Fulful, ia berkata : Aku bertanya pada Anas bin Malik tetang shalat sunnah setelah asar, maka ia menjawab :
“Dahulu Umar memukul tanganku karena aku shalat setelah asar, dan dahulu di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kami shalat dua rakaaat setelah terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib.”
Lalu aku bertanya pada nya : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat itu?”
Anas bin Malik menjawab : “Beliau melihat kami melaksanakan shalat itu, dan beliau tidak memerintahkan dan juga tidak melarangnya.”
E. Pengertian Khabar
Khabar (الخبر) secara bahasa berarti An-Naba’ (النبأ) yang berarti kabar atau berita. Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits.
Namun, menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih umum dari pada hadits. Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada selain beliau. Syaikh Utsaimin mengatakan :
الْخَبَرُ مَا أُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى غَيْرِهِ
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga disandarkan kepada selainnya.
F. Pengertian Atsar
Atsar (الأثر) secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (بقية الشيء) yang berarti sisa dari sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah :
مَا أُضِيْفُ إِلَى الصَّحَابِي أَوْ التَّابِعِي
Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.
Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya penyebutannya disandarkan dengan redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” sehingga penyebutannya seperti ini :
وَفِي الْأَثَرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam . . .
G. Pengertian Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Allah ta’ala. Hadits qudsi ini juga terkadang disebut dengan hadits rabbaaniy atau hadits ilaahiy. Syaikh Utsaimin mengatakan :
الْحَدِيْثُ الْقُدْسِي: مَا رَوَاهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى
Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasllam dari Tuhannya ta’ala.
Dengan demikian, hadits qudsi juga merupakan firman Allah ta’ala yang maknanya disampaikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun redaksi yang disampaikan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Contoh hadits qudsi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Aku di sisi persangkaan hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di kumpulan orang, maka Aku mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.”
H. Perbedaan Hadits Nawabi, Hadits Qudsi dan Al Quran
Perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan Al Quran adalah dilihat dari penisbatan redaksi dan maknanya. Redaksi dan makna Al Quran dinisbatkan kepada Allah ta’ala. Sedangkan hadits nabawi, redaksi dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits qudsi, hanya maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah ta’ala, bukan redaksinya.
Maka dari itu, membaca hadits qudsi tidak dinilai sebagai ibadah, tidak dapat digunakan sebagai qiraat dalam shalat, tidak terdapat tantangan (bagi orang kafir untuk menandinginya), dan juga tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al Quran. Sehingga hadits qudsi juga ada yang shahih, dha’if, bahkan palsu.
Barakallah Fikum
SEMOGA BERMANFAAT."