Putra Mahkota Arab MBS Tak Senang Kamala Harris Presiden AS? Kenapa?
EEL WAY - Putra Mahkota Arab Saudi sekaligus Perdana Menteri (PM) Mohammed bin Salman (MBS) disebut tak akan senang jika Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris, menjadi presiden Paman Sam. Sosoknya yang dekat dengan aktivis hak asasi manusia (HAM) menjadi penyebab.
Hal ini setidaknya dikatakan pengamat lembaga penelitian Stimson Center, Mathew Burrows, dalam sebuah wawancara dimuat Business Insider, dikutip Kamis (25/7/2024). Harris bisa mengulik-ulik catatan buruk Arab Saudi yang suram soal HAM, salah satunya mengungkit kematian kontributor Washington Post, Jamal Khashoggi.
"Kandidat presiden liberal seperti Kamala Harris, yang dekat dengan aktivis hak asasi manusia juga akan mengkhawatirkan," katanya dimuat laman itu.
"Putra Mahkota Mohammed khawatir bahwa, di bawah pemerintahan Harris yang liberal, Partai Demokrat akan lebih vokal mengenai catatan hak asasi manusia Saudi yang suram," tambahnya.
Sebenarnya saat berkampanye, Biden sempat menyinggung soal kematian Khashoggi di Turki tahun 2018. Bahkan ia berjanji mengambil tindakan keras terhadap Arab Saudi.
Harris, juga dalam kampanyenya pada tahun 2020, pun vokal tentang pembunuhan tersebut. Ia bahkan menyebut "serangan terhadap jurnalis di mana pun" tak dibenarkan dan mendukung undang-undang di Senat untuk mempublikasikan lebih banyak informasi tentang kematian warga Arab Saudi itu.
Harris mengatakan AS perlu secara mendasar mengevaluasi kembali hubungan dengan Arab Saudi. Ia pun menekankan bagaimana AS seharusnya menanamkan pengaruh sesuai nilai-nilanya dan kepentingan Amerika.
Hal ini pun sempat membuat tegang hubungan kedua sekutu di awal Biden memimpin Gedung Putih. Namun kesepakatan akhirnya terjalin dengan fokus menentang Iran dan mencari stabilitas di Timur Tengah.
"Harris dapat memperumit hal ini," tambah Burrows.
"Calon presiden yang lebih konfrontatif dapat menjadi hambatan bagi tujuan AS dalam menormalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, sekutu penting AS di kawasan lainnya," katanya merujuk upaya AS beberapa tahun terakhir yang menjadi perantara normalisasi negara-negara Arab dan Israel, guna penyeimbang pengaruh regional Iran.
Harris juga merupakan pendukung utama hak-hak perempuan dan kelompok LGBTQ+. Ini semua, kata Burrows, secara hukum sangat rendah dalam hukum Arab Saudi di mana perempuan harus memiliki wali laki-laki dan hubungan sesama jenis adalah ilegal.
Sementara itu, Profesor Hubungan Internasional di London School of Economics, Fawaz Gerges, juga menyampaikan sentimen serupa. Menurutnya mundurnya Biden mungkin merupakan kejutan bagi para penguasa Timur Tengah yang tidak terbiasa menyerahkan kekuasaan dengan mudah.
"Motto mereka adalah 'sampai maut memisahkan kita," kelakarnya merujuk kekuasaan penguasa kawasan itu.
Meski begitu, kedua pakar yakin para pejabat Arab Saudi mungkin akan mengharapkan banyak kesinambungan dari kepresidenan Harris. Sehingga memperluas pendekatan Biden terhadap Timur Tengah.