Langsung ke konten utama

Orang Besar Yang Punya Tanah Sertifikat Bisa Kena Claim, Warga Biasa Tanahnya Kemana?

Orang Besar Yang Punya Tanah Sertifikat Bisa Kena Claim, Warga Biasa Tanahnya Kemana? 

Yusuf Kalla
Yusuf Kalla

Ada satu hal yang gak pernah berubah di negeri ini kalau orang besar marah, media langsung bikin breaking news. Tapi kalau orang kecil digusur, paling banter cuma trending sejam di medsos, itu pun kalau sempat diviralkan. Dan kali ini yang lagi marah bukan sembarang orang Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden dua periode, pengusaha, dan tokoh nasional yang tanahnya seluas 16,4 hektare di Makassar diduga diserobot pihak lain. Berita dari CNN Indonesia (12/11/2025) ini ramai karena bukan cuma soal lahan, tapi soal siapa yang berani bikin orang sekelas JK kesal.

Ceritanya, tanah itu diklaim milik keluarga JK sejak 35 tahun lalu, lengkap dengan sertifikat dan bukti jual beli dari ahli waris Raja Gowa. Tapi belakangan, lahan yang berlokasi di Jalan Metro Tanjung, Kecamatan Tamalate, Makassar, itu tiba-tiba diklaim juga oleh pihak lain salah satunya perusahaan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang disebut punya kaitan dengan Lippo Group. Nah, dari sinilah drama hukum bergulir. JK bilang dirinya punya bukti kuat. Tapi di sisi lain, pihak lain juga merasa legal. Alhasil, konflik tanah itu berubah jadi panggung besar antara yang punya sertifikat dan yang punya koneksi.

JK bahkan sampai datang langsung ke lokasi, ngomel di depan kamera, dan bilang dengan nada kecewa “Saya liat, saya punya tanah. Tapi tiba-tiba ada yang ngaku. Itu perampokan namanya.” Pernyataan yang keras, tapi juga jujur. Karena kalau yang ngalamin ini bukan JK katakanlah rakyat kecil yang rumahnya 6x12 meter mungkin ceritanya gak sampai headline. Mereka bakal diusir duluan sebelum sempat wawancara.

Lucunya, kasus ini malah ngasih gambaran betapa tajam ke bawah, tumpul ke atasnya sistem hukum kita. Ketika JK marah, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono langsung buka suara, menjelaskan detail kasusnya, bahkan menyebut sengketa ini udah berlangsung sejak 1990-an dan melibatkan empat pihak besar: PT Hadji Kalla, PT GMTD, Mulyono (warga sipil), dan Mayomambolang Bdg. Solong. Semua pihak diberi kesempatan bicara. Semua dikawal media. Semua dapat perhatian publik. Tapi kalau rakyat biasa yang jadi korban mafia tanah? Paling banter dikasih spanduk, Tanah Ini Milik Negara, Dilarang Membangun, dan disuruh sabar.

Padahal logikanya sederhana kalau orang besar yang punya sertifikat bisa kalah klaim, apa kabarnya warga biasa yang bahkan gak tahu harus urus tanahnya ke mana? Sengketa 16,4 hektare ini jadi cermin besar betapa rapuhnya kepemilikan di negeri yang katanya, berlandaskan hukum. Karena ternyata, punya sertifikat itu gak selalu berarti aman tergantung siapa lawanmu di meja hijau.

JK sendiri terang-terangan menuding ada mafia tanah di balik kasus ini, yang sengaja diam-diam memanipulasi proses constatering (pencocokan lokasi) dan pengukuran ulang. Ia bahkan menyebut nama Haji Najimiah, pihak yang diduga bermain di balik pengakuan lahan. “Kita punya suratnya, punya sertifikatnya, tapi tiba-tiba diakuin. Itu bukan sengketa, itu perampokan,” kata JK dengan nada tinggi.

Di sisi lain, Menteri ATR/BPN bilang pihaknya akan menelusuri semuanya, tapi menegaskan bahwa sengketa ini memang rumit karena semua pihak punya dasar hukum yang berbeda. Rumit? Ya, jelas. Tapi yang bikin getir adalah, selama ini banyak rakyat kecil juga punya dasar hukum yang kuat cuma gak punya akses hukum.”Bedanya di situ. Kasus ini jadi makin menarik waktu pihak Lippo Group ikut disebut. James Riady langsung membantah, bilang tanah itu bukan milik Lippo, melainkan kepemilikan dari PT GMTD yang memang perusahaan daerah dengan Lippo sebagai pemegang saham minoritas. Intinya, “kami gak terlibat langsung.” Tapi ya begitulah, di Indonesia, kalimat “kami gak terlibat” sering berarti “kami gak mau disalahkan dulu.”

Sengketa ini bukan cuma soal sepetak lahan. Ini soal bagaimana hukum bekerja atau pura-pura bekerja ketika yang berurusan adalah tokoh besar. Karena kalau aja JK bukan JK, mungkin lahan itu udah lama diserahkan ke pihak lain lewat keputusan yang muncul dari ruang pengadilan yang sunyi tapi berisik. Coba bayangin kalau yang ngalamin kasus ini bukan mantan wapres, tapi petani di pinggiran Makassar. Mereka mungkin gak akan dikunjungi menteri, gak akan disorot media nasional, dan gak akan punya kesempatan bicara soal keadilan. Mereka cuma bisa pasrah, melihat tanah tempat mereka lahir, tumbuh, dan dikuburkan, tiba-tiba berubah jadi proyek resort dengan papan nama, Milik Investor.

Kasus ini menyindir kita semua tentang betapa ironisnya keadilan di negeri ini. Ketika orang kaya berdebat soal hektare, rakyat kecil berjuang mempertahankan halaman rumahnya. Ketika pejabat bisa marah di depan kamera dan menteri langsung tanggap, rakyat biasa bahkan gak tahu siapa yang harus didatangi.

Dan kalau JK yang punya nama besar aja bisa bilang ini perampokan, maka wajar kalau rakyat kecil udah lama merasa dirampok bukan cuma tanahnya, tapi juga haknya untuk percaya bahwa hukum masih bisa membela yang lemah.

#ceritabisnis
  • Disclaimer:
  • Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Komentar